Mimpi Memang Harus Berakhir

Sebelum bertolak ke Brasil, Jose Luis Pinto, mengatakan bahwa pasukannya hanya akan membawa cita-cita sederhana. Cita-cita yang “merendah”. Sama sekali tidak mencerminkan sikap optimistis, apalagi ambisius. Katanya: “kami berharap tidak datang sebagai turis”.

 

AFP PHOTO | FABRICE COFFRINI PEMAIN Kosta Rika berlutut bersama saat adu penalti kontra Belanda

AFP PHOTO | FABRICE COFFRINI
PEMAIN Kosta Rika berlutut bersama saat adu penalti kontra Belanda

APA boleh buat. Kosta Rika memang bukan siapa-siapa di kancah persepakbolaan dunia. Tiga kali lolos ke putaran final sebelumnya, pencapaian tertinggi mereka adalah fase 16 besar di Italia 1990. Dua keikutsertaan lain, La Sele -julukan tim nasional Kosta Rika- kandas di babak grup.

Perjalanan mereka ke Brasil sebenarnya cukup meyakinkan. Kosta Rika lolos sebagai runner up zona Concacaf (Amerika Utara, Kanada, dan Kepulauan Karibia), mengganggu dominasi dua kekuatan utama, Amerika Serikat dan Meksiko. Persoalannya adalah, di Brasil, mereka tergabung di Grup D yang dihuni para raksasa, para juara dunia. Apalah arti Kosta Rika di hadapan Uruguay, Italia, dan Inggris? Maka tidak seorang pun rakyat negeri penghasil kopi, pisang, dan nenas, ini yang melontar protes. Mereka pasrah. Dan berusaha tetap senang. Betapapun lolos ke Piala Dunia tetap merupakan kebanggaan.

Namun semua berubah setelah laga pertama. Tanpa ada yang menduga, Kosta Rika memapas Uruguay 3-1. Lalu kemudian giliran Italia yang digebuk. Di laga terakhir, Inggris ditahan 0-0. Kosta Rika batal jadi turis. Batal berjemur di Copacabana. Batal mengagumi Cristo Redentor, patung Kristus Sang Penebus yang berdiri kokoh di puncak bukit Corcovado Rio De Jeneiro. Mereka menjadi juara grup dan harus pergi ke Arena Pernambuco di Kota Recife untuk menghadapi Yunani, dan mendadak, di San Jose maupun kota-kota lain di Kosta Rika, kepasrahan menguap. Kebanggaan lolos ke Piala Dunia beranjak jadi kebahagiaan, karena Joel Campbel, Oscar Duarte, Celso Borges, Bryan Ruiz, dan seluruh anggota skuat telah membuat mereka berani merajut mimpi.

“Kita telah mencipta sejarah!” tulis The Tico Times, satu-satunya harian berbahasa Inggris di negeri itu, tatkala Kosta Rika kemudian melangkahkan kaki lebih jauh ke perempat final. Bermain 1-1 di waktu normal, mereka akhirnya mengandaskan Yunani lewat drama adu penalti.

Koran berbahasa Spanyol, La Nacion, bahkan menuliskan laporan yang agak provokatif dan hiperbolik. “Belanda? Mari kita menghadapi mereka dengan gembira.”

Tidak ada persoalan apapun lagi pada diri Kosta Rika. Mereka sudah berada pada satu zona di mana segala bentuk kecemasan, segala bentuk beban dan keragu-raguan, telah menyatu menjadi keriangan. Zona yang mengembalikan sepakbola pada khittahnya yang paling purba, permainan. Terpenting adalah turun bertanding, lalu berlari, memburu bola. Menang atau kalah, urusan belakangan.

“Sama sekali tidak pernah terpikir bahwa saya, bahwa kami semua, akan bertahan sampai sejauh ini. Belanda dipenuhi talenta-talenta hebat, nama-nama besar. Saya bahkan tidak pernah bermimpi akan berhadap-hadapan langsung dengan (Robin) van Persie, (Arjen) Robben, dan (Wesley) Sneijder. Saya sangat gembira. Saya tidak mungkin melewatkannya begitu saja. Saya akan bersenang-senang,” kata Navas dalam wawancara dengan Guardian.

Dibanding sebagian besar rekannya, Keylor Antonio Navas Gamboa, kiper Kosta Rika, sebenarnya tidak terlalu asing dengan pentas elite sepakbola, khususnya di Eropa. Ia bermain untuk Levante di La Liga Primera. Setelah masa peminjaman dari Albacete selama satu tahun berakhir, Levante mengontraknya secara resmi sejak musim 2012. Total ia bermain dalam 46 laga. Artinya, Navas kerap berhadap-hadapan dengan para mega bintang yang bercokol di Real Madrid, Atletico, dan Barcelona. Ia sudah terbiasa menjajal Cristiano Ronaldo, Gareth Bale, Lionel Messi, dan Neymar, yang notabene tak berbeda kelas dari ketiga penggawa Belanda itu. Namun boleh jadi, Navas melontarkan kalimat ini untuk menyuntikkan semangat pada rekan- rekannya. Untuk makin mengikis rasa cemas dan gugup dalam diri mereka.

“Mimpi ini masih indah. Sangat-sangat indah. Kami hanya ingin berharap agar ia tak cepat berakhir. Kami ingin menikmatinya lebih lama lagi,” kata Pinto.

Harapan lelaki Kolombia yang telah menangani La Sele sejak 2011 ini nyaris terwujud. Di lapangan, pasukannya bermain kesetanan. Memang benar sama sekali tidak ada lagi tersisa rasa takut mereka. Para pemain Kosta Rika seolah lupa bahwa lawan mereka adalah Belanda, tiga kali finalis Piala Dunia. Van Persie frustasi. Sneijder berulangkali berteriak kesal. Robben apalagi. Berkali-kali terobosan maupun aksi diving-nya yang terkenal gagal memenuhi tujuan. Hingga waktu normal dan tambahan usai, skor tetap 0-0.

Tibalah saatnya “tos-tosan”. Adu penalti di mana faktor teknis berkelindan sempurna dengan kepercayaan diri dan nasib baik. Dan kali ini, Belanda lebih beruntung. Strategi mengagetkan Louis van Gaal yang menarik keluar kiper utama Jasper Cillessen persis di menit akhir waktu tambahan, berbuah manis. Tim Krul benar-benar menjelma penyelamat Belanda. Kiper yang merumput bersama Newcastle United ini mengadang cocoran dua eksekutor Kosta Rika, Ruiz dan Michael Umana.

Con el Corazon Roto, Pero con El Alma Intacta,” tulis La Nacion. “Kita merasa sakit, tapi kita telah menunjukkan jiwa besar”. Tico Times tak kalah patriotis. “Pain but Pride“, “Menyakitkan tapi Membanggakan”. Dan di tepi lapangan Arena Fonte Nova, Pinto, yang berdiri terhuyung- huyung menahan haru, mendapatkan tepuk tangan paling tulus dari seluruh penjuru negeri.

Tersingkirnya Kosta Rika akhirnya membuat jalan Piala Dunia kembali pada “kelaziman”. Empat kesebelasan yang menapak di semifinal adalah negara-negara besar di jagat sepakbola. Selain Belanda, juga ada Jerman, Argentina, dan tuan rumah Brasil. Satu kombinasi sangat menjanjikan untuk terciptanya sejarah baru.

Seperti deja vu, kombinasi semifinal 2014 mirip dengan semifinal 1950. Ketika itu kombinasinya adalah Swedia, Spanyol, Uruguay dan Brasil yang juga bertindak sebagai tuan rumah. Menggunakan sistem setengah kompetisi, Uruguay dan Brasil akhirnya melaju ke final.

Bagaimana dengan edisi kali ini? Ditilik lebih jauh, Piala Dunia yang dihelat di benua Amerika (Selatan maupun Utara), selalu menghasilkan juara yang berasal dari benua yang sama. Pula begitu saat dihelat di Eropa. Akankah Brasil 2014 jadi pembeda?
Brasil sejak awal diprediksi sebagai favorit juara. Selain faktor tuan rumah, dari sisi teknis mereka juga sangat mumpuni.

Namun hingga perempatfinal, Selecao tak kunjung menunjukkan performa yang benar-benar meyakinkan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Brasil memiliki barisan belakang yang lebih kuat dan mencolok dibanding barisan depan. Terkaparnya Neymar da Silva Santos Jr akibat cedera retak tulang belakang, kian membuat Brasil nelangsa. Mantan pelatih tim nasional Inggris yang kini jadi komentator, Glenn Hoddle, menyebut tanpa Neymar, kekuatan Brasil tinggal 50 persen. Brasil kian compang-camping setelah kapten sekaligus komandan di lini belakang, Thiago Silva, juga harus absen karena akumulasi kartu kuning. Dengan kondisi seperti inilah mereka harus menghadapi Jerman yang tengah on fire.

Limbungnya Brasil ditangkap dengan cermat oleh Joachim Loew. Maka ia pun memerintahkan seluruh awak Der Panzer, termasuk official, melakukan “gerakan tutup mulut”. Kamp latihan tim nasional Jerman yang semula tidak pernah dijaga ketat, mendadak tertutup untuk siapa saja. Termasuk wartawan-wartawan dari Jerman sendiri. Loew merahasiakan benar strategi yang akan ia turunkan saat dijamu Brasil di Belo Horizonte, 9 Juli 2014 mendatang.

Partai Belanda kontra Argentina menjanjikan kesengitan yang sama. Ini merupakan ulangan perempatfinal Perancis 1998. Belanda ketika itu unggul 2-1 lewat gol Denis Bergkamp di menit 89. Gol pertama Belanda dilesakkan Patrick Kluivert yang saat ini menjadi asisten Van Gaal.

Apakah Belanda dapat mengulanginya? Kekuatan kedua kesebelasan sudah berubah. Argentina kini memiliki Lionel Messi dan kehadirannya membuat Tango seolah-olah kembali ke masa keemasan Diego Maradona. Namun Messi adalah juga semacam ambigu. Andalan tapi sekaligus juga berarti kartu mati. Begitu tinggi ketergantungan terhadap Messi, hingga baik-buruknya level permainan Argentina secara menyeluruh bergantung pada performanya. Van Gaal tentu sudah lama mempersiapkan penangkal.

 

Dimuat Harian Tribun Medan
Senin, 7 Juli 2014
Halaman 1

Tinggalkan komentar