Politik Indonesia dan Perkara-perkara yang Jenaka

Badut

KASUS kebohongan Ratna Sarumpaet membuat panggung politik Indonesia yang jenaka jadi makin jenaka. Yakni kejenakaan yang serba mengenaskan dan karena itu menjengkelkan. Bukan hanya mereka yang berada di atas panggung. Orang-orang yang berseliweran di seputaran panggung, para penonton, juga makin menunjukkan bakat serupa. Beberapa di antaranya bahkan jauh lebih jenaka, padahal mereka sama sekali bukan komedian.

Ini ambiguitas yang kompleks. Secara teoritis, melawak tak mudah, tetapi faktanya negeri kita melahirkan lebih banyak pelawak dibanding, misalnya, ilmuwan. Apakah buruk? Bisa buruk bisa tidak, tergantung dari sisi mana memandangnya. Namun satu yang pasti, humor dan kejenakaan yang merupakan modal para komedian memang bukan hal yang bisa dipandang remeh. Humor dan kejenakaan, sebaliknya, harus disikapi serius agar berhasil.

Dalam tulisan berjudul “Humor Itu Serius” yang dimuat Harian Kompas pada 9 Agustus 1977, Arwah Setiawan, memaparkan teori‑teori tentang humor yang alih-alih menghadirkan tawa justru membikin kening jadi berkerut. Menurut Setiawan, humor tidak berhenti setelah tawa meledak. Humor bisa berumur lebih panjang, memberi pengaruh, karena memiliki daya guna sebagai kritik sosial, di mana dia berfungsi memperbaiki kekeliruan dan melepaskan ganjalan.

Paparan Setiawan selaras pendapat Arthur Koestler, penulis Inggris kelahiran Hungaria, yang menyebut kedudukan humor setara dengan ilmu pengetahuan dan seni dalam tiga wilayah kreativitas. Alasan Koestler, ketiganya sama‑sama mencari analogi tersembunyi, walau kemudian berakhir dengan cara berbeda.

Satu di antara humor paling populer dan paling banyak mendapat sambutan adalah humor politik. Bob Hope, komedian Amerika Serikat, menyebut humor politik adalah bagian penting dari demokrasi. Pada tahun-tahun akhir Perang Dunia Kedua (1939-1945), humor-humor politik Hope menjadi warna tersendiri dari peristiwa mengenaskan itu. Lelucon-lelucon Hope merangsek, lalu mengemuka sebagai opini berbeda yang memberi masyarakat sudut pandang lain dalam melihat perang. Tahun 1974, saat Watergate, mega skandal yang sedang dikupas Washington Post ramai diperbincangkan, Hope juga ikut berpendapat. Kalimatnya yang satir, “Watergate gave dirty politics a bad name“, mendapatkan tempat dalam sejarah Amerika Serikat selain kejatuhan Richard Nixon.

Setelah era Bob Hope, humor politik kian kencang berkibar melalui nama-nama seperti Woody Allen, Robin Williams, Lewis Black, Jerry Seinfeld, Whoopi Goldberg, Ellen DeGeneres, atau Amy Schumer. Pada musim kampanye Presiden Amerika edisi mutakhir yang dimenangkan Donald Trump, humor politik melesat-lesat di berbagai acara televisi. Berdasarkan survei perusahaan analisa siaran televisi Jumpshot, pada hari-hari menjelang pencoblosan, warga Amerika Serikat justru meninggalkan acara-acara debat serius dan beralih ke bincang-bincang satire. The Late Show with Stephen Colbert berada di peringkat pertama, disusul The Daily Show with Trevor Noah dan The Tonight Show with Jimmy Fallon.

Dari dalam negeri ada Warkop (Rudi Badil, Nanu Mulyono, Kasino Hadiwibowo, Wahjoe Sardono, dan Indrodjojo Kusumonegoro) yang memulai jejak mereka sebagai komedian politik lewat program obrolan yang serba ugal-ugalan di Radio Prambors. Kemudian bisa dicatat nama Teater Koma, Butet Kertarajasa, dan yang terkini, Pandji Pragiwaksono dan Lies Hartono alias Cak Lontong. Namun pencapaian tertinggi humor politik Tanah Air sesungguhnya justru datang dari level politik paling tinggi pula, yaitu Presiden Republik Indonesia, presiden keempat, KH Abdurrahman Wahid.

Gus Dur, sapaannya Kyai Wahid, memang punya selera humor kelas wahid. Darinya lahir sangat banyak humor politik yang cerdas, canggih, dan melegenda saking lucunya. Gus Dur bahkan tetap melawak dalam keseriusannya. Silakan periksa buku kumpulan kolomnya yang bernas, Melawan dengan Lelucon (2000)

Persoalannya, yang lebih sering mengemuka di negeri terkasih kita hari-hari belakangan bukanlah humor politik model begini. Bukan kejenakaan yang lahir dari landasan emosi yang terkendali dan terkalkulasi. Sebaliknya, emosi yang mendasarinya sangat agresif, liar, dan berakibat tak lagi menjadikan logika sebagai tolok ukur. Humor, lelucon, “segila” apapun tetap harus berpijak pada landasan ini, tak boleh ngawur.

Sekarang yang menyeruak justru kengawuran-kengawuran. Justru logika-logika yang terjungkirbalikkan. Kebohongan Ratna Sarumpaet menjadi komoditi yang aktobatik. Ratna jelas-jelas berbohong dan ini sudah diakui secara terbuka. Namun kemudian, kebohongan ini dikemas sedemikian rupa, dipilin pelintir, dikocok, dilambung-lambungkan, hingga terkesan setara dengan hal lain yang diyakinkan tiada kalah gawatnya, yakni janji-janji kampanye Jokowi. Janji-janji belum terwujud yang sebelumnya telah dimunculkan melalui beragam meme. Kebohongan Ratna yang sifatnya personal disebut tidaklah seberapa aduhai dibanding kebohongan Jokowi.

Perkembangan kasus ini, yang membuat sejumlah orang yang ditengarai menyebarkan kebohongan terancam ikut diperiksa polisi dan termungkinkan mendapat sanksi hukum, memperlebar cakupan kengawuran. Para pencetus kengawuran menyebut orang-orang yang menyebarkan kebohongan sebagai korban Ratna Sarumpaet. Dengan demikian, apabila mereka mendapat hukum, maka seluruh rakyat Indonesia juga harus dihukum lantaran telah termakan kebohongan Jokowi.

Kubu Jokowi, atau barangkali katakanlah pihak-pihak yang secara sadar menempatkan diri sebagai pendukung dan akan memilih Jokowi di Pemilu Presiden 2019, tentu saja tidak mau kalah. Kengawuran perihal kebohongan dijawab dengan ide mendeklarasikan apa yang mereka sebut sebagai Hari Antihoaks Nasional. Tanggalnya 3 Oktober, yaitu tanggal di mana Ratna Sarumpaet membuat pengakuan dan menyebut kebohongannya antara lain terjadi karena dia dibisiki setan. Ratna sendiri diberi gelar Ibu Hoaks Indonesia.

Begitulah, persis tingkah polah Lloyd Christmas dan Harry Dunne dalam Dumb and Dumber, kubu-kubu yang saling berseteru memang sudah sepenuhnya kehilangan kesungkanan untuk memamerkan ketololan. Mereka membuat kejenakaan-kejenakaan yang seyogianya masih potensial menerbitkan tawa itu jadi kehilangan greget dan sama sekali tak lucu.

 

Dimuat Harian Analisa
Kamis, 25 Oktober 2018
Halaman 20

Dimuat juga di http://www.analisadaily.com
http://harian.analisadaily.com/opini/news/politik-indonesia-dan-perkara-perkara-jenaka/638868/ 2018/10/25

Siapa Pembunuh Mira Marcela?

siapa-pembunuh-mira-marcela-618568-1SUPAYA tidak jadi membingungkan kuberitahu kepadamu bahwa Mira Marcela, Anamira Isnaini Khadijah, dan Nur Asiah Jamil, adalah nama orang yang sama. Nur Asiah Jamil nama lahir. Anamira Isnaini Khadijah nama pengganti dan tertera di KTP dan berbagai kartu identitas dan nama inilah yang kau baca di halaman-halaman koran sejak beberapa hari lalu.

Nama Nur Asiah Jamil sudah barang tentu akan membawa ingatan pada qoriah dan biduan nasyid Indonesia termasyhur di era 1970–1980an. Menurut Mira Marcela, ayahnya, Haji Zainuddin, memang kagum kelewat besar pada pemilik suara emas tersebut hingga ketika isterinya melahirkan bayi perempuan tanpa pikir panjang mencaplok namanya bulat-bulat.

“Aku binti Zainuddin, bukan binti Jamil. Begitupun aku masih bersyukur. Masih sedikit lebih baik. Bisa kalian bayangkan, bagaimana kalau sampai Mbak Tutut yang membuat bapak tergila-gila. Bisa-bisa namaku Siti Hardiyanti Indra Rukmana,” katanya, lalu tertawa panjang.

Tidak lama nama ini disandangnya. Cuma empat tahun lebih beberapa bulan. Dia sering jatuh sakit dan konsultasi ayahnya ke orang-orang pintar dan orang-orang alim menghasilkan identifikasi persoalan: namanya kelewat berat dan mesti diganti.

Kenapa Haji Zainuddin memilih Anamira Isnaini Khadijah dan apa makna di baliknya, aku tidak tahu. Mira tak pernah bercerita. Pastinya, dengan nama ini dia sempat menapak di jalan yang pernah dijejaki Nur Asiah Jamil. Sampai usianya menyentuh angka 16, dia meraih 78 tropi MTQ dan sejumlah penghargaan lainnya. Pula sulit dihitung berapa kali dia mengaji di acara ceramah agama, wiridan, ulang tahun, pernikahan, sampai peresmian toko atau kantor.

Namun dua tahun kemudian Anamira Isnaini Khadijah justru lebih dikenal sebagai pedangdut. Dia merantau ke Jakarta dan mengganti namanya menjadi Mira Marcela. Bagaimana belokan tajam ini bisa terjadi dan membuat Haji Zainuddin tega melempar kutuk, tak lagi mengakuinya sebagai anak, tidak kalian temukan di sini. Barangkali akan kuceritakan lain waktu. Di sini aku cuma ingin bilang bahwa entah karena kutuk itu atau memang ada sebab lain yang lebih sahih, persis di hari ulang tahunnya ke 29, Mira Marcela memutuskan mengubur mimpi-mimpinya di panggung dangdut. Dia tak lagi sanggup menyaingi pedangdut-pedangdut muda yang berpantat serba semok dan berdada sentosa yang di atas panggung nekat melakukan apa saja untuk memukau penonton.

Maka berbekal simpanan Rp 5 juta yang diserahkannya pada seorang calo TKI, Mira Marcela –bersama 114 perempuan lain– masuk Malaysia lewat pelabuhan gelap di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Dari Jakarta mereka diangkut bus. Janji calo itu, Mira Marcela akan bekerja sebagai penyanyi tetap di satu kafe milik pengusaha asal Semarang di Kuala Lumpur.

Tentu saja dia kena tipu. Setelah disekap empat bulan 12 hari di satu gudang, Mira Marcela dipekerjakan di pabrik pembuatan sekrup di seputaran Shah Alam, Selangor. Kurang lebih setahun berselang dia mendapat pekerjaan lain sebagai pembantu rumah tangga. Gajinya per bulan 1100 ringgit ditambah jatah makan tiga kali sehari. Dalam sepekan dia diberi libur 24 jam penuh. Akan tetapi nasibnya tak beranjak lebih baik. Mira Marcela tiga kali nyaris diperkosa. Masing-masing sekali oleh majikan lelaki, sekali oleh sopir, dan sekali oleh anak majikan yang belum genap berusia 15. Gajinya juga kerap ditunggak dan dipotong untuk kesalahan-kesalahan menggelikan.

Sampai kemudian seorang banci, seorang mucikari, dan seorang penjual jagung bakar di trotoar Jalan P Ramlee (majikan perempuan sering mengajaknya ke diskotek The Beach untuk menemani berdisko semalam suntuk), membantunya melarikan diri. Lantaran caranya kelewat rumit dan cenderung bertele-tele, bahkan sampai menciptakan drama percintaan segi empat segala, kupikir bagian ini juga tak perlu diceritakan di sini.

Mira Marcela kembali ke Indonesia. Tadinya dia berniat langsung pulang ke kampungnya, satu desa kecil di Raba, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Namun diurungkan. Dia berbelok ke Medan.

Saat masih bekerja sebagai pembantu rumah tangga Mira Marcela pernah beberapa kali bercakap-cakap dengan tetangga majikannya. Seorang perempuan muda, Tionghoa, masuk Islam setelah dinikahi pemuda Melayu sebelum sempat menyelesaikan kuliah di University of Malaya. Entah didorong solidaritas kebangsaan atau memang sungguh-sungguh prihatin pada nasib Mira Marcela, perempuan ini menawarinya bekerja di kedai kopi di kawasan Kota Tua yang dimiliki pamannya. Seolah paham betapa semangat menyanyi Mira Marcela sesungguhnya tak pernah padam, perempuan ini juga bilang pamannya mengelola band yang sering diundang mengisi berbagai acara yang digelar pengusaha dan pejabat-pejabat di Medan.

Berkat lobinya Mira Marcela diterima bekerja. Tugasnya mencatat dan mengantarkan pesanan. Dia cekatan dan ringan tangan. Meski tak wajib baginya, tiap kali pengunjung sedang sangat ramai, dia selalu membantuku meracik kopi atau membuat roti bakar. Kopi dan roti bakarnya dipuji bercita rasa nikmat.

Waktu itu usianya 33. Tujuh bulan berselang, pada satu petang menjelang malam yang masih menyisakan gerimis tajam, seorang remaja tukang semir sepatu bernama Ujang Rambo menemukannya tertelungkup tak bernyawa di gang sempit di belakang kedai. Tubuhnya dibungkus jas hujan berwarna coklat muda. Kepalanya disungkup rambut palsu pirang. Terdapat sejumlah tanda kekerasan pada tubuhnya. Diduga kuat, dia juga diperkosa.

Tadinya aku bermaksud memulai cerita dari sini. Namun kukira ada baiknya kujelaskan sedikit perihal riwayat Mira Marcela, sekadar supaya kalian percaya betapa kadangkala hidup bisa berjalan dengan cara-cara yang ajaib dan serba menjengkelkan.

Rahmat Yanis, polisi berpangkat Brigadir Kepala, seorang di antara polisi yang menangani kasus kematian Mira Marcela, membawaku ke salah satu adegan puncak Chungking Express. Menit 38 detik 25, saat perempuan berambut palsu pirang meletuskan pistol ke kepala lelaki bandar heroin. Menurut dia, dalam kasus ini, pelaku melakukan rekonstruksi terbalik.

Aku tak begitu paham maksudnya. Bahkan setelah menontonpun tetap gagal paham. Terus terang, aku tidak suka film ini. Menontonnya membuatku jadi  teringat pada Mira Marcela. Betapa sulit dipercaya dia mati dengan cara begitu rupa.

Selang 24 jam pascapenemuan mayatnya, polisi menahan Ujang Rambo dan Awang Wijaya, adik pemilik kedai.

“Motifnya dendam karena hasrat pada korban tak kesampaian,” ujar Rahmat Yanis.

Cerita seperti ini sebenarnya sudah terlalu umum. Banyak di antara pelanggan kedai kopi menyimpan hasrat serupa. Termasuk Rahmat Yanis. Bukan tanpa alasan belakangan ini dia makin rajin datang ke kedai lalu duduk ngopi berlama-lama. Mira Marcela pernah bercerita betapa sering Rahmat Yanis menggodanya.

“Bapak itu suami orang, Bang. Aku tahu anaknya empat, masih kecil-kecil. Aku nggak mau jadi perusak rumah tangga orang,” katanya.

Namun dari semua pemuja Mira Marcela, cuma Awang yang tak sungkan berterus terang. “Piye? Gelem opo ora?” ucapnya, lalu matanya mengedip nakal. Meski sudah berkali-kali dijelaskan, Awang tetap saja menganggap Mira Marcela orang Jawa.

Sejumlah fakta membuat aku meragukan teori Rahmat Yanis. Mira Marcela mampu bertahan hidup di panggung dangdut dan selamat dalam penyekapan berbulan-bulan. Dia juga lolos dari tiga percobaan pemerkosaan. Jadi siapapun pelakunya, menurutku, pastilah punya semangat dan kekuatan besar untuk menghabisi, dan aku sungguh yakin pula, Awang tak masuk golongan ini. Dua tahun lalu dia dihantam stroke yang membuat tubuhnya mati sebelah. Walau kemudian membaik, ada bagian-bagian yang tak lagi berfungsi seperti sediakala. Godaan-godaannya pada Mira Marcela, saya kira, sekadar iseng atau mungkin juga semacam upaya menghibur diri.

Ujang Rambo bertubuh tinggi dan bongsor meski baru berusia 14. Dari sisi ini dia pantas dicurigai. Persoalannya, Ujang punya alibi kuat. Hasil visum seperti disiarkan koran-koran menunjukkan Mira Marcela tewas sekitar 12 jam sebelum ditemukan. Kemungkinan, pembunuhan terjadi antara lepas tengah malam hingga menjelang Subuh. Di waktu yang sama, Ujang Rambo bersamaku. Kami bermain catur, dan seingatku, sampai pertarungan berakhir di pelat kesepuluh, dia hanya keluar kamar tiga kali. Dua kali untuk kencing dan sekali untuk membikin kopi kami berdua. Mustahil dia membunuh –dan sekaligus memperkosa(?)– dalam tempo sesingkat itu. Apalagi mendandani Mira Marcela menyerupai Brigitte Lin.

Ujang Rambo juga bukan sebangsa orang yang menonton film untuk mencermati cerita. Dia benar-benar hanya peduli pada ledakan, ciprat darah, dan adegan ranjang. Pula demikian Awang yang memuja Ti Lung, Chen Kuan‑tai, Fu-Shen, serta aktris jebolan panggung Opera Kanton seperti Ivy Ling Po. Sedangkan Bruce Lee dan Jacky Chan disebutnya bintang muda yang gesit berkelahi, dan pengetahuannya tentang film berhenti sampai di sini.

Kalian tentu sepakat, orang-orang seperti ini rasa-rasanya tak mungkin mampu secara detail merekonstruksi adegan puncak Chungking Express. Terlebih-lebih dalam bentuk terbalik.

 

****

 

Ada perempuan baru di kedai. Setengah baya bertinggi sedang, berperawakan gemuk, tak pernah lepas dari songkok dan selalu berkain panjang dan riwayatnya dalam mencari nafkah paling banyak dihabiskan dengan berjualan tiwul dan jamu gendong dari kampung ke kampung di Gunung Kidul, Yogyakarta. Namanya Siti Marlena. Dia minta disapa Mak Len.

Tahun 1979, Mak Len pindah ke Medan mengikuti suaminya Partono yang terobsesi bermain untuk PSMS. Namun semangat Partono ternyata jauh meninggalkan bakatnya. Upaya ini kandas. Partono tewas dalam kecelakaan lalu lintas pada 25 Februari 1985. Becak yang dikemudikannya menghajar punggung truk saat dia buru-buru ke Lapangan Merdeka untuk ikut  pesta perayaan keberhasilan Ayam Kinantan menjuarai Kompetisi Perserikatan.

Mak Len bekerja rajin. Untuk ukuran perempuan seusianya terbilang cukup cekatan pula. Terpenting –paling tidak sampai sejauh ini– dia jujur. Sekitar lima menit lalu dia menyerahkan satu unit telepon selular kepadaku.

“Mak nemu di kamar mandi,” katanya.

Yang seperti ini sering terjadi. Biasanya, setelah diteriaki si empunya barang yang sembrono akan mendekat dengan langkah malu-malu. Namun belum sempat aku teriak, telepon selular serahan Mak Len bergetar. Intro yang khas, lalu sebait syair.

 

It’s not everyday we’re gonna be the same way
There must be a change somehow

 

Jantungku serasa copot. Meski tak suka, bayangan Chunking Express masih sangat jelas. Thing in Life, lagu Dennis Brown ini tak banyak dikenal sebelum Wong Kar-wai mencomot dan memperdengarkannya sebanyak empat kali hingga adegan puncak di menit 30:25 itu.

Kusapu pandangan ke sekeliling kedai. Apakah pembunuhnya masih di sini?

 

Kuala Lumpur-Medan-Jakarta, 2013-2018

 

Dimuat Harian Analisa
Minggu, 16 September 2018
Halaman 7

Ini merupakan versi asli. Saat dimuat Analisa, cerpen mengalami sejumlah penyuntingan editor.
http://harian.analisadaily.com/cerpen-rebana/news/siapa-pembunuh-mira-marcela/618568/2018/ 09/16

Didokumentasikan juga di lakonhidup.com, situs pengumpul cerpen-cerpen yang terbit di sejumlah media massa di Indonesia.
https://lakonhidup.com/2018/09/16/siapa-pembunuh-mira-marcela/

 

Singgah di Omerta

 

MEJA bar kayu di sudut ruangan masih sama. Juga meja-meja tamu yang disulap dari mesin jahit klasik. Kursi bersandaran besi padat berukir, rak-rak buku, etalase yang memajang pernik suvenir otomotif, poster vintage Land Rover dan Vespa berbagai ukuran. Tak ada jejak mafia. Padahal nama kafe ini Omerta. The code of silence. Secara harfiah berarti gerakan tutup mulut, atau boleh jadi kesetiakawanan. Semacam perekat persaudaraan.

Jangan harap ada wisky, vodka, atau brandy, sebab bahkan sekadar bir pun tak tersedia di sini. Cuma kopi dan teh dalam berpuluh varian racikan.

“Selamat datang di Omerta!”

Sapaan yang masih persis sama. Meluncur dari balik meja bar yang tinggi, dari lelaki semampai, beruban, brewokan, bertato, berkacamata minus. Lelaki yang sama. Juga keacuhan yang tidak berbeda.

Namanya Deni, pemilik kedai sekaligus peracik kopi dan teh, merangkap pelayan. Kadangkala, jika orang yang bekerja untuknya berhalangan datang, Deni menggantikannya. Seperti sekarang. Dia menyapaku sembari membersihkan meja bar itu.

Siang jelang matang. 14.30. Aku lupa! Di Omerta waktu berjalan lebih lambat.

“Apa kabar, Bung?”

Pertanyaanku membuat Deni menghentikan aktivitasnya. Sesaat ia menatapku, lekat, lalu memamerkan senyum lebar. “Oi… Lama tak singgah, Kamerad!” katanya setengah berteriak. Dijabatnya tanganku. “Sehatkah?”

“Sehat-sehat orang tua.”

Hahaha… Maka nikmatilah hidup, Bung. Kurangi tidur, perbanyak minum kopi. Jadi, apa pilihan Anda hari ini? Kopi Betina seperti biasa? Atau sesekali mau coba Kopi Jantan?”

Deni memamerkan senyum lebar lagi. Akan tetapi kali ini segera surut dan ia buru-buru melontar maaf. “Bukan maksudku mengingatkan kau padanya.”

Aku menggeleng. Mencoba tersenyum. Siapa bisa lupa?

Usia kami sebaya. Sama-sama lahir di tahun 1977. Bulan ketujuh. Aku tanggal 17 dia 10 hari berselang. Begitu banyak angka tujuh dalam hidup kami. Aku mengkultuskannya secara sadar. Merekayasa sedemikian rupa hingga seluruh hidupku seolah tak bisa dipisahkan dari angka ini. Dia tidak. Seingatku, dia hanya melakukannya untuk satu hal: Tuesday With Morrie, halaman 154. Tiap kali kami singgah di Omerta, dia akan mengeluarkan buku ini dari tas. Tidak untuk dibaca. Dia mencari halaman itu lalu meletakkannya di atas meja dalam kondisi terbuka.

Kok, tidak ada angka tujuh?” kataku, dan dia tertawa. “Bagaimana, sih?” ucapnya setelah tawa reda. “Ini, kan, gabungan angka tahun kelahiran kita, 77 ditambah 77!”

Mulanya tentu saja aku merasa berbunga-bunga. Saat itu kami tidak sedang menjalin hubungan yang lebih dari sekadar pertemanan, namun dia menempatkan angka tahun kelahiranku di posisi istimewa. Diam-diam aku menyimpan harapan.

Kenapa Tuesday With Morrie, tanyaku di hari lain. “Aku suka. Kupikir membaca novel ini akan membuat orang tak terlalu takut menghadapi mati. Maksudku, setidaknya bagiku. Barangkali bisa sama bagi orang lain. Bisa juga tidak,” ujarnya.

“Jadi pada halaman 154 itu malaikat maut datang?” tanyaku lagi. Asal-asalan saja.

“Tepatnya, belum, Bung. Di sana dipapar bagaimana Janine, istri Mitch, menyanyi untuk Morrie yang kondisinya makin payah. Lagu bersyair sangat indah. The Very Throught of You. Kau pernah dengar? Aku melacaknya di youtube dan menemukan banyak versi di luar aslinya. Dari semuanya, aku suka versi Billie Holiday dan Diane Schuur. Tapi paling mengesankan bagiku justru versi renyah dari Antoinette Clinton, penyanyi muda yang lebih suka menyebut dirinya Butterscotch.”

Lalu dia mulai bersenandung. Di lain hari, ketika keliaran obrolan membawa kami kembali pada topik ini, dia tidak saja menyanyi lebih keras tapi bahkan sampai berdiri di atas meja dan baru turun setelah Deni mendelikkan mata.

Sikapnya memang hampir selalu meriah. Di awal pertemuan kami, dia juga yang pertama mengulurkan tangan. “Mira. Mira Marcela,” katanya.

“Seperti nama penyanyi dangdut.”

“Aku memang penyanyi dangdut.”

Usianya waktu itu 27. Pernah menikah dua kali, bercerai, tanpa anak. Pernikahan pertama terjadi saat dia masih 17 tahun, berangkat dari perjodohan yang sebenarnya potensial membuat hidupnya berubah ciamik.

Lelaki itu dokter di rumah sakit provinsi dan sudah barang tentu mapan dalam segala hal. Ternyata rumah tangganya tak bertahan lama. Hanya bertahan tiga tahun. Bukan cuma karena lelaki 57 tahun itu sungguh payah di tempat tidur dan nafasnya bau walang sangit dan dua anak bawaannya dari istri pertama yang meninggal lantaran kecelakaan sungguh angkuh dan menolak memanggilnya ibu lantaran usia mereka nyaris sebaya. Fakta-fakta ini memilukan. Namun ada dua hal lain yang membuat Mira kehilangan kesabaran dan akhirnya mantap memilih cerai.

Lelaki itu punya tingkat ketelatenan yang sungguh kelewatan. Bahkan untuk perkara-perkara yang sangat sepele. Ia hapal mati letak sendok sayur, toples garam, emper cucian kotor, dan semuanya tidak boleh bergeser satu inci pun dan Mira mesti betul-betul cermat atau seluruh tetek bengek pekerjaan ini akan diulangnya sesuai standar yang ditetapkannya sendiri.

Mira juga merasa terpenjara. Sejak lelaki itu mengikuti satu pengajian ia memberlakukan banyak sekali larangan. Tidak boleh mendengarkan musik, tidak boleh menonton televisi, tidak boleh bepergian seorang diri sekalipun itu ke pasar, ke super market bahkan rumah ibu dan ayahnya. Dan lelaki itu memerintahkannya untuk menutup sekujur tubuhnya. Yang tersisa hanya sepasang mata.

Pascabercerai Mira jadi penyanyi dangdut. Kenapa harus dangdut? Kenapa bukan pop atau rock? Kenapa jadi penyanyi? Kenapa bukan pekerjaan lain atau kenapa dia tak pulang kampung saja, misalnya. Mira tak menjelaskan dan aku juga tak bertanya lebih lanjut. Pastinya, setahun kemudian Mira dinikahi pemilik orkes dan produser rekaman yang mengorbitkannya.

Pernikahan ini berumur sama pendek. Hanya 17 bulan. Mira tak tahan pada kelakuan suaminya yang doyan main pukul dan kelayapan menyantap perempuan.

Mira Marcela mengaku telah melepas 37 album. Jumlah yang luar biasa bahkan untuk ukuran pedangdut di negeri terkasih ini. Padahal dia belum pernah masuk televisi atau sepanggung dengan penyanyi ternama. Beberapa yang menurutnya laris berjudul Enak-enak Digoyangin, Pacaran Lagi Sama Duda, Mendhem Kangen, Terbujuk Rayu Mega Mix II, Mencari Mangsa Gaya Jaipong, dan Basah-Basah Digilir Cinta Seleksi Koplo Terheboh.

Percakapan soal pernikahan dan dangdut umumnya berhenti sampai di sini. Bukan lantaran kecewa atau tidak menarik. Namun kami memang tak pernah betah dan serius berlama-lama pada satu topik. Sangat sedikit pula yang dipercakapkan serius. Bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya membutuhkan keseriusan. Seingatku, satu-satunya topik yang tak diakhiri gelak tawa atau kesimpulan ngawur adalah soal racik-meracik kopi.

Dia bertanya kenapa kopi yang disangrai lalu ditumbuk dengan metode tradisional akan memberi cita rasa lebih kuat dibanding kopi bubuk olahan mesin. Dia bertanya kenapa suhu air terbaik untuk menyeduh kopi antara 85 hingga 97 derajat celsius dan kenapa kopi yang telah diseduh dengan gerakan memutar tak perlu diaduk lagi. Dia bertanya mengapa penambahan gula akan membuat kenikmatan menyeruput kopi berkurang. Dia bertanya kenapa ada kopi jantan dan kopi betina. Dia bertanya, tepatnya menggugat, kenapa penamaan jantan dan betina ini didasari bentuk biji kopi yang didekatkan pada alat kelamin –kopi jantan berbentuk bulat sedangkan kopi betina memiliki belahan yang terletak persis di tengah. Kenapa jantan dihargai lebih mahal?

Tak sekadar bertanya. Sering pula dia pergi ke balik meja bar membantu Deni meracik kopi. Untukku selalu diracikkannya kopi betina sedangkan baginya kopi jantan. Kenapa terbalik? Emansipasi, bilangnya. Belakangan aku tahu alasannya tak sesederhana itu.

Tujuh bulan pascaperceraiannya yang kedua Mira bertemu seorang perempuan. Kurang lebih tiga pekan setelah kami berjumpa untuk kali pertama, dia mengenalkan perempuan itu padaku. Mata, bentuk hidung, tulang pipi, dan bibirnya mengingatkanku pada Cyrine Abdelnour, penyanyi Lebanon yang aduhai. Namanya Lena Marlena, pedangdut pendatang baru.

Hari-hari Mira Marcela kemudian riuh diisi segala hal tentang Lena Marlena. Suatu hari dia bercerita bahwa menurut Lena di masa lalu mereka berdua adalah pasangan kekasih. Tak tanggung-tanggung. Mereka bercinta-cintaan pada dua putaran kehidupan. Putaran pertama dia terlahir sebagai laki-laki dan Mira perempuan. Di kehidupan berikut posisinya berbalik.

“Sekarang kalian sama-sama perempuan. Bagaimana itu?”

Sebenarnya aku cuma bermaksud menggoda. Namun Mira menanggapi serius. “Tak masalah, kan? Kupikir aku sudah jatuh cinta padanya,” ucapnya mengejutkanku.

Meski menggebu percintaan mereka tak mulus. Mira dan Lena bergantian memutus hubungan. Paling sering dilatarbelakangi kecemburuan. Puncaknya, menurut Mira, Lena ingin membunuhnya.

“Kau serius?” tanyaku.

“Lihat ini,” ujarnya seraya menyodorkan telepon seluler. Foto ban dan velg mobil: forged alloy racing 17 inci, varian jari-jari. Dua dari empat bautnya tanpa mur. “Aku tak pernah suka mengendarai mobil dengan kecepatan rendah.”

“Kau yakin dia pelakunya?”

“Aku tak punya musuh lain.”

Mira menggeleng-gelengkan kepala. “Kau tahu, Bung. Sebenarnya bukan perkara kematian ini benar yang aku takutkan. Aku cuma kaget, sekaligus sedih dan kecewa. Dia begitu cantik dan begitu licin. Tak kusangka. Dia bahkan belum terhitung penyanyi dangdut kelas dua.”

“Lalu?”

“Aku tak mau konyol. Aku harus mendahuluinya.”

Oh, Tuhan.”

Mira tersenyum. “Ini cuma perkara cinta dan kematian. Tak usah bawa‑bawa Tuhan.”

Sepekan setelah pembicaraan ini mobil Mira Marcela ringsek di jalan tol. Kanvas rem rusak berat. Keempat ban nyaris tanpa bunga dan pada velg sebelah kiri depan, hanya dua dari empat mur yang masih terpasang. Pengemudi mobil yang dikenali sebagai Lena Marlena, terluka parah, dan akhirnya meninggal setelah dua hari dirawat di rumah sakit.

Beberapa jam kemudian Mira Marcela ditemukan tak bernyawa di kamar apartemennya. Seorang tetangga yang curiga melihat botol-botol susu teronggok berhari-hari di depan pintu, menghubungi polisi. Mira tergolek kaku di ranjang mengenakan kemeja putih kedodoran dan lingerie berwarna senada. Tak ada tanda‑tanda kekerasan pada tubuhnya. Di TKP, tiga dimensi forensik –lantai, dinding, atap– seluruhnya aman.

Kedua kasus ini tak pernah tuntas.

Tiba‑tiba aku merasa mual. “Kamerad, pesananku sudah siap?”

Bah! Anda bahkan belum memesan apa‑apa, Bung,” sahut Deni.

“Kalau begitu Teh Strawberry saja. Tambahkan sedikit mint. Kurasa aku masuk angin.”

Deni tergelak panjang.

 

Medan, 2014–2016

 

KETERANGAN:

*Omerta Koffie, Jalan Wahid Hasyim No. 9, Medan. Kafe ini jadi tempat kumpul dan berdiskusi para pecinta kopi, anggota komunitas Land Rover, Vespa, juga wartawan, fotografer, dan blogger.

 

Dimuat Harian Media Indonesia
Minggu, 22 Januari 2017
Halaman 10

 

Mata yang Indah

ILUSTRASI | ANALISA - RENJAYA SIAHAAN

ILUSTRASI | ANALISA – RENJAYA SIAHAAN

MINGGU pagi dan Zainuddin Malik bin Haji Zulkifli alias Udin Porkas, Bapakku, meninggal dunia, dan kampung kami dilanda geger. Desis bisik sejumlah orang di majelis taklim menjalar cepat. Kematian Bapak disebut su’ul khotimah –mati dengan akhir yang buruk. Kupingku panas. Terlebih-lebih hatiku. Tapi apa pulak mau dikata? Orang sekampung sudah lama paham perangai Bapak. Dan faktanya, ia memang dijemput maut di lapo Mak Len, lepas tengah malam tadi.

Kematian yang sangat tiba-tiba. Menurut para parlapo, pengunjung tetap kedai minum Mak Len, saat itu kemeriahan baru dimulai. Racikan cocktail kelas jelata (Topi Miring+Extra Joss+Sprite+susu putih+es batu) yang mengiringi pedendang-pedendang pilihan menyuarakan lagu, belum sampai susut setengah teko. Tukang gitar masih segar-bugar. Masih semangat merambas senar. Bahkan sebenarnya, Sapu Tangan Na Maraek, lagu wajib Bapak di manapun ia berdendang, belum tuntas benar dilantunkan. Para parlapo bersaksi, saat menggeber nada tinggi dengan lagak Jack Marpaung, Bapak tiba-tiba tercekik, lalu terbatuk-batuk sebelum tersungkur tak bangun lagi. Menumpang becak Wak Yanis, suami Mak Len, mereka sempat melarikannya ke rumah sakit. Tiga jam lebih dirawat di ruang gawat darurat, dokter menyerah.

Tapi bukan ini perkara utama yang mencuatkan kegegeran. Mati di kedai minum saat sedang tenggen, mabuk berat, bukanlah peristiwa pertama yang dialami warga kampung kami. Banyak kematian lain yang lebih ganjil dan memalukan. Namun kematian Bapak memang jadi cerita yang lebih seru, karena banyak bumbu bisa ditambahkan kepadanya.

Geger diawali teriakan dari dalam tenda yang diberdirikan di samping rumah. Mbah Partono, 80 tahun, satu-satunya bilal mayit di kampung kami, terbirit-birit keluar tenda. Ia tadinya sedang mempersiapkan keperluan-keperluan untuk memandikan jenazah. Wajahnya yang penuh kerut ketuaan, memucat, putih menyerupa kapas.

“Matanya…, matanya…,” kata Mbah Partono dengan nada bicara terbata-bata. Dadanya yang tipis naik turun cepat.

Seorang tetangga datang membawa segelas air putih.

“Tenang dulu, Mbah. Minumlah dulu,” katanya. Para takziah lain dalam sekejap telah mengerumuni Mbah Partono. Lelaki yang juga nazir di masjid kampung kami ini cepat menyambar gelas yang disodorkan padanya, lantas mereguk dan menandaskan isinya dalam sekedipan mata. Saat menyodorkan kembali gelas itu kepada si empunya, tampak betapa tangan Mbah Partono masih gemetaran.

“Apa yang terjadi, Mbah?” tanya seseorang.

“Matanya.”

“Iya, Mbah. Mata siapa?”

“Mendiang.”

“Kenapa matanya?”

“Hilang!”

Orang-orang langsung berhamburan ke dalam tenda. Berselang detik, jerit-pekik terdengar bersahutan. Saudara-saudaraku –kakak, adik, sepupu, makcik, uwak, dan kerabat lain– segera bertangisan-tangisan. Heran, terpukul, barangkali bercampur takut juga. Sebagian dari mereka kemudian ikut histeris melihat Mamak, Ibuku, mendadak semaput.

 

***

 

Aku tahu, atas kabar kematian Bapak, banyak yang diam-diam tersenyum. Mengucap syukur lantaran merasa doanya terkabul. Pernah kudengar sendiri seorang perempuan tetangga kami menyumpahi-serapahi Bapak. Waktu itu Bapak sedang jadi buah bibir setelah tersiar kabar ia kawin lagi dengan seorang gadis kencur, masih 18 tahun, belum lama tamat sekolah.

“Apalah yang dilihat perempuan-perempuan itu dari dia. Ganteng tidak. Tegap tidak. Dibilang kaya pun tidak. Keretanya Honda buruk-buruk, kap benjol 70. Kalau pun naik yang agak cantik sikit, pastilah itu kereta pinjaman. Sudah begitu suka mabuk dan main judi pulak. Masih agak patenlah kalau sering menang. Ini tidak. Sepengetahuanku, pasang togel pun jarang tembus. Heran kali aku, bah!” katanya.

Gadis kencur itu istri kesembilan Bapak.

“Kasihan aku lihat Kak Lena. Bolak-balik dimadu. Kalau aku nggak tahanlah, Jang. Minta cerai aku. Pasti! Atau sekalian kusembelih barangnya, supaya mampus dia,” ujar perempuan yang lain.

Aku ingat, perempuan ini, kemudian datang langsung pada Mamak, mengusulkan beberapa cara untuk membalaskan sakit hati. Meski khasiat-khasiatnya berbeda, ada yang sekadar bikin kepala tengleng sampai yang terkapar mampus, cara-cara ini punya satu kesamaan tabiat: tak kasat mata. Polisi dijamin tidak akan bisa berbuat apa-apa.

“Kakak pasti puas kalau lihat Abang itu mati dan barangnya hilang.”

“Hilang bagaimana?”

“Iya, hilang.”

“Kayak di-sunglap?”

Alah, kakak ini. Kampungan kali kulihat. Bukan sulap bukan sihir, Kakakku. Ini ilmu bukan sembarang ilmu. Macam mana? Pokoknya tanggung beres. Dia ini dukun langgananku. Belum pernah gagal. Maharnya pun tak mahal. Kalau Kakak mau, kita mainkan.”

Mamak hanya menggeleng, dan kemudian, bukan hanya perempuan itu, tapi juga hampir seluruh perempuan di kampung kami, menyebutnya goblok. Mau saja ditipu-tipu bapak.

“Kalau dengar lakiknya yang kurang ajar itu kawin lagi, Kak Lena merepet-repet, menangis, menyumpah-nyumpahi. Lalu sama kita dibilangnya mau menggugat cerai. Tapi tengoklah, sampai sekarang tak ada. Cuma cakap-cakap. Kalau Abang itu pulang, diterimanya juga. Hilang merepetnya. Hilang nangisnya. Bingung aku. Dibilang goblok, tidak, sekolahnya lebih tinggi dari awak. Tapi kalau disebut pandai pun kayak begitulah, lebih-lebih orang paling bengak,” kata perempuan tetangga kami yang lain.

Sebagian kecil yang memilih tidak mengata-ngatai, tidak mencibir atau melontar ejek, malah menunjukkan sikap yang kerap membuat Mamak menangis. Empati berlebihan. Mereka, rata-rata menunjukkan sorot mata iba tiap kali bercakap-cakap atau bahkan saat sekadar melihat Mamak melintas.

Sebenarnya bukan hanya para tetangga. Kami pun berulangkali dibikin heran. Pernikahan terakhir bapak, ke 14, sebelas bulan lalu, sudah membuat kami sampai di depan meja Pak Gelowo. Pengacara yang masih terhitung paman ini bersedia mengurus perceraian Mamak dan Bapak. Cuma-cuma. Seperti sebagian besar anggota keluarga kami, ketidaksukaan Pak Gelowo pada Bapak juga sudah tak tertanggungkan. Sebelumnya, atas pengaduan Mamak yang disampaikan dengan gestur sangat memilukan dan membuat semua orang yang mendengarnya menangis, rapat keluarga memutuskan pernikahan yang centang-prenang ini mesti disudahi.

Tapi heboh kembali berakhir dengan cara paling hambar. Hanya pengulangan 13 rencana cerai sebelumnya. Bapak pulang, bersimpuh memeluk erat kedua lutut mamak, lantas menangis meraung-raung mengaku salah dan menyesal, dan persoalan selesai.

“Kalian tidak akan pernah mengerti. Aku yang menjalani pernikahan ini selama berpuluh tahun. Aku yang merasakan senang dan sakitnya. Benar, aku sudah berkali-kali tersakiti, tapi dalam pernikahan, kadang-kadang cinta dan benci bisa saling bertukar tempat dan semuanya kemudian jadi sulit dijelaskan. Begitu juga hubungan Mamak dan Bapak kalian,” kata Mamak saat suara-suara kekecewaan keluarga, juga tetangga, sampai ke telinganya.

Pada dasarnya aku percaya Mamak berkata jujur. Tapi aku juga yakin kejujuran ini tidak sepenuhnya terbit dari hatinya. Aku menduga ada dorongan lain yang membuatnya selalu menerima dan memaafkan kesalahan Bapak. Sekali dua kali, barangkali, masih bisa dimaklumi. Masih masuk akal. Tapi 13 kali? Ah! Kelewatan! Kukira Tuhan tidak menciptakan manusia seperti ini. Para sutradara dan penulis skenario sinetron paling konyol sekali pun tidak.

Dugaanku menguat setelah pada satu malam, kira-kira tiga bulan lalu, Tok Awang datang bertamu. Ia saudara jauh kami. Bersepupuan dengan nenekku. Secara resmi profesinya peternak unggas dan agen tanah, tapi ia juga tak kalah banyak mendapatkan uang dari nasihat-nasihat yang diberikannya pada orang-orang bermasalah. Tok Awang konon punya kepandaian menerawang dan menyembuhkan penyakit yang tak terdeteksi pengetahuan medis.

Dari ngalor-ngidul yang kemudian sampai pada tujuan, yakni sepetak tanah warisan keluarga yang ditawar cukong dari Singapura, percakapan Tok Awang dengan Mamak dan para uwak, bermuara ke Bapak. Menurut Tok Awang, Bapak bermulut manis. Tapi, adalah matanya yang lebih membuat ia disegani.

“Mata yang kejora. Cemerlang bersinar laksana purnama pada 15 hari bulan. Nian indah tiada berperi. Siapapun yang menatap matanya akan tunduklah pada tiap kata-katanya. Tidak pernahkah kalian menyadarinya?”

Jadi, semacam ilmu pengasih? Tok Awang menggeleng.

“Lebih daripada itu, sebenarnya. Dia terikat perjanjian.”

“Perjanjian? Perjanjian bagaimana, Pak? Dengan siapa?” tanya Mamak.

Wah, bagaimana, ya. Saya belum menerawang sampai sejauh itu. Tapi jika ingin, nantilah, bisa kita atur waktu. Pastinya, sepanjang pengetahuan saya, tiap-tiap perjanjian pasti menuntut tumbal. Entah diri bersangkutan atau keturunannya.”

Tok Awang menghentikan informasinya sampai di sini.

 

***

 

Seperti kusampaikan di depan, bukan kematian Bapak di lapo Mak Len yang mencuatkan geger. Pula bukan persaksian Mbah Partono. Itu hanya awal. Geger melanda kampung setelah dua biji mata Bapak ditemukan Mamak dalam rebusan air yang baru matang dijerang untuk membikin kopi.

Mamak pingsan lagi. Bisik-bisik mendesis lagi. Dugaan-dugaan mengemuka. Sejumlah orang dicurigai dengan beragam teori dan alasan. Tentu saja, tidak ada satu kecurigaan pun yang mengarah padaku. Iya, aku, satu-satunya anak laki-laki yang lahir dari seluruh pernikahan Bapak. Anak laki-laki yang tidak kunjung dewasa. Anak laki-laki yang mesti mengenakan celemek sepanjang hari karena liur yang tak berhenti menetes, yang hingga menginjak usia 30 bahkan tidak pernah bisa fasih untuk sekadar memanggilnya Bapak.

 

Medan, Agustus 2014-Januari 2016

Dimuat Harian Analisa, Medan
Minggu, 27 Maret 2016
Halaman 6

Tuak, Produk Sosio-Kultural yang Hendak Diasingkan

HARGA TUAKSAYA tidak ingat persis kapan tepatnya saya bersentuhan dengan tuak. Saya hanya ingat satu momentum, waktu itu saya masih berseragam putih merah, masih SD, di pinggiran Kota Padangsidempuan, Tapanuli Selatan, dan seorang tetangga meminta saya membelikan minuman itu ke lapo (kedai). Dengan uang yang ia berikan, tertebuslah tuak sebanyak satu teko.

Lalu keluarga saya pindah ke Lubukpakam, Deliserdang. Satu kota yang lebih pluralistik dari Padangsidempuan. Baik suku bangsa maupun agama. Dan saya tinggal di kawasan di mana warga suku Jawa, Melayu, Minang, dan Batak, Islam dan Kristen, hidup berdampingan dengan warga suku Tionghoa dan India Tamil dan Pakistan, dengan tingkat kedamaian yang sungguh-sungguh aduhai.

Di kota ini, persentuhan saya dengan tuak terjadi lagi. Bahkan lebih dekat dan akrab. Saya sering duduk di kedai tuak, mendengarkan para parlapo melantunkan lagu-lagu dengan cara yang menurut saya memukau. Dan sampai sekarang saya tidak habis mengerti, mengapa semakin banyak menenggak tuak, mereka makin mampu mencapai nada-nada tinggi.

Tentu, sepanjang persentuhan itu, saya juga melihat hal-hal yang buruk. Semisal ceracau para penenggak tuak yang mabuk. Atau perkelahian-perkelahian yang pecah. Entah karena perselisihan saat bermain catur atau kesalahpahaman di antara penenggak-penenggak tuak yang telah kehilangan kendali emosi, karena mabuk.

Namun hal-hal buruk seperti ini tidak sering terjadi. Boleh dibilang jarang. Tuak diminum untuk dan dalam kebersamaan. Dan lantaran diminum beramai-ramai, biasanya tak banyak. Sebanyak-banyaknya satu orang menenggak tuak, tiada akan lebih dari satu teko (jika padanannya bir, setara dengan satu picher), dan jumlah ini belum cukup hebat untuk menghadirkan mabuk.

Saya punya satu pengalaman lain. Saat itu saya sudah duduk di bangku SMA. Kebetulan musim durian dan seorang kawan yang membantu pamannya berdagang durian, berbaik hati memberikan (kalau tidak keliru ingat) empat buah duriannya sebagai camilan menanti datangnya sore hari. Waktu untuk bermain sepakbola di tanah lapang.

Entah dari siapa ide bermula, tiba-tiba saja tiga teko tuak telah tersuguh dan seorang kawan yang agaknya berbakat jadi bartender (meski pada kenyataannya sekarang dia jadi pedagang kain di Pasar Tenabang Jakarta), mencampurkannya dengan durian tadi.

Kami menghabiskannya dan saat waktu bermain sepakbola tiba, kami tetap bermain. Entah menang entah kalah, saya tidak ingat. Pastinya kami tetap bermain penuh semangat hingga pertandingan dihentikan “pluit panjang” yang sudah jadi kesepakatan bersama, yakni gema azan Magrib.

Perihal persentuhan-persentuhan dengan tuak ini pada dasarnya sudah tersimpan jauh di bilik kenangan saya. Dan barangkali memang tidak akan menyeruak lagi apabila tak ada rencana dahsyat dari sejumlah Anggota DPRD Medan.

Iya, mereka. Dari gedung kantor mereka yang sejuk dan beraroma wangi, wakil-wakil rakyat yang pintar-pintar dan bijak itu sedang menyusun Rancangan Peratuan Daerah (Ranperda) tentang minuman beralkohol. Termasuk di dalamnya tuak.

Tujuan akhirnya, pertama, mempersempit dan mengendalikan peredaran minuman-minuman beralkohol, hingga menjadi barang yang lebih sulit diperoleh. Kedua, pemerintah daerah memperoleh pemasukan. Tempat-tempat tertentu yang nantinya diperbolehkan menjual minuman-minuman ini akan dibebani retribusi dalam jumlah tertentu.

Barangkali ada tujuan ketiga, yang sejauh ini tidak (atau belum?) diungkap secara terang. Tujuan yang berkaitpaut dengan kepantasan dari sisi agama. Tuak potensial memabukkan dan mabuk lantaran minuman memabukkan adalah perbuatan nista.

Terlepas dari tujuan, nyata benar bahwa rencana ini diambil tanpa sedikit pun mempertimbangkan posisi tuak sebagai produk sosial budaya. Sebagai sebuah hasil dari pergulatan kultural dan simbiosis manusia dengan lingkungan, dengan alam.

Tuak tidak hanya dikenal di bumi Tapanuli, di tanah Batak. Tuak juga ada di daerah-daerah lain di Indonesia. Ada yang dikenal dengan nama yang sama, ada juga yang berbeda. Di Sulawesi Selatan, khususnya Tana Toraja, Tuak disebut Ballo’. Sedangkan di Sulawesi Utara dinamakan Saguer. Masyarakat Bali punya istilah tersendiri, Brem.

Di daerah-daerah ini, tuak tak berhenti pada sekadar minuman yang memiliki kandungan alkohol. Atau dengan kata lain, tuak bukan minuman biasa. Tuak dan bir, misalnya, sama-sama bisa membikin mabuk. Tapi posisi tuak tidak dapat begitu saja disejajarkan dengan bir.

Di Toraja, ballo’ menjadi minuman yang dihidangkan di acara-acara adat. Pula begitu bagi masyarakat Batak. Tuak memiliki filosofi tersendiri. Dalam pesta adat, tuak biasa dikonsumsi untuk menciptakan hubungan yang lebih dalam, sekaligus sebagai isyarat untuk mempermudah komunikasi di antara sesama anggota keluarga dan masyarakat.

Tuak merupakan simbolisme pembawa kejernihan pikiran dan berkat bagi orang yang meminumnya. Dalam pesta-pesta perkawinan maupun upacara kematian, keberadaan tuak tak dapat gantikan minuman lain.

Memang, dalam pesta-pesta atau upacara kematian masyarakat Batak yang (sudah merasa diri) lebih modern, tersuguh pula bir. Demi alasan kepraktisan (dan barangkali juga gengsi?). Namun tuak tetap dihadirkan, sebagai syarat yang mesti terpenuhi.

Tuak juga baik untuk kesehatan. Diminum untuk penghangat badan. Proses fermentasi dalam pembuatan tuak, membuat minuman ini memiliki kadar etanol. Semakin lama menjalani fermentasi, kadarnya semakin tinggi.

Akan tetapi, setinggi-tingginya kadar etanol tuak, tidak akan lewat dari 15 persen. Artinya, itu hanya setengah dari kadar etanol yang terkandung dalam Vodka dan Brandy. Tuak khas Batak sendiri rata-rata mengandung etanol tiga sampai tujuh persen.

Para orang-orang tua juga meyakini tuak dapat meningkatkan dam memperlancar produksi air susu ibu. Maka pada perempuan-perempuan hamil antara delapan hingga sembilan bulan, yang kemudian dilanjutkan setelah melahirkan, tuak diberikan dalam jumlah tertentu.

Tapi begitulah, bagi para pencetus ide Ranperda Minuman Keras, tuak memang tak pernah dipandang sebagai produk sosio-kultural. Tuak sepertinya hanya dilihat dari satu sisi pandang, yakni produk komersil yang lahir dari rahim industri.

Tepatnya produk komersil industri kecil, yang karena imbasnya tadi, dengan serta-merta digolongkan sebagai produk yang buruk dan dengan demikian mesti “diasingkan” dari warga.

Mereka, sekali lagi, tak peduli pada kultur, pada budaya, pada hubungan-hubungan sosial. Bahkan mereka sesungguhnya juga tak peduli pada perekonomian rakyat.

Vodka, brandy, wine, sampanye, bahkan bir, diproduksi oleh koorporat-koorporat besar dengan jaringan yang sudah mendunia. Tiada jadi soal jika pada mereka dipungutkan cukai yang besar. Sebaliknya, tuak selama ini diproduksi perajin kecil, pekerja-pekerja rumahan, dan produknya sekadar dijual di lapo.

Apakah dengan adanya Ranperda nanti tuak akan naik kelas jadi minuman di kafe dan bar? Sama sekali tidak! Tuak akan tetap jadi minuman lapo. Dan ketika pemilik lapo tak sanggup membayar retribusi, perajin tuak akan mati. Dan tuak pun, lama-kelamaan akan ikut mati, lenyap, punah.

 

Dimuat Harian Analisa
Minggu, 6 Desember 2015
Halaman 7

Negeri yang Masyarakatnya Makin Malas Membaca

ilustrasi | internet SOSMED JUNKIES

ilustrasi | internet
SOSMED JUNKIES

BEBERAPA waktu lalu, di Singapura, saya mendengar Mark Zuckerberg berbicara. Bercelana jeans dan berkaus oblong abu‑abu gelap, lelaki yang didepak dari Harvard ini memaparkan (dengan cara dan gaya penyampaian memukau) hasil kerja yang membuat ia menjadi satu di antara orang paling berpengaruh di muka bumi, Facebook.

Konsep dasar Facebook adalah koneksi. Bagaimana orang‑orang dapat terhubung dan berhubungan satu sama lain, baik antar individu, antar kelompok, antar individu dengan kelompok atau sebaliknya. Bukan sekadar menyapa, namun lebih jauh dari saling memberi dan berbagi informasi. Pendek kata, Facebook adalah dunia baru. Dunia di mana semua orang dapat menempatkan diri secara aktif sebagai pelaku‑pelaku, bukan lagi penonton yang hanya pasif dan menerima.

Ide besar yang dirancang Mark Zuckerberg dari kamar flatnya yang pengap di Asrama Mahasiswa Harvard ini, kita tahu, sudah terealisasi. Namun ada perkembangan radikal yang barangkali tidak pernah dibayangkan oleh Zuckerberg. Betapa makin ke sini, Facebook, makin banyak digunakan sebagai kendaraan dalam upaya untuk membangun penyesatan‑penyesatan. Tanpa disadari, dunia Facebook (dan juga media‑media sosial lain terutama sekali Twitter), telah membantu membentuk kelompok‑kelompok masyarakat baru yang belum pernah ada sebelumnya. Yakni kelompok masyarakat yang bebal, yang serba mudah melampiaskan perasaan (marah, gembira, sedih, bahagia) dan mudah pula menarik kesimpulan, lalu berkeyakinan bahwa tiada yang lebih benar daripadanya.

Tak terkecuali di negeri ini. Indonesia merupakan salah satu pasar utama Facebook dan Twitter. Setidaknya tujuh dari 10 orang (usia 15‑50) memiliki akun Facebook dan rutin beraktivitas di dalamnya. Bahkan dua di antara yang tujuh ini memiliki lebih dari satu akun.

Dibanding Facebook, Twitter memang agak tertinggal. Twitter sejauh ini baru berjejak terang di kota‑kota besar sehingga terkesan lebih elitis. Bahkan belakangan Twitter mulai terkejar oleh media sosial berbasis foto dan video, Instagram.

Saya mulai memiliki akun Facebook pada tahun 2008, setelah penasaran dengan percakapan seru sejumlah kawan, di samping banyaknya notifikasi pesan yang masuk ke kotak pesan surat elektronik saya. Twitter menyusul setahun berselang. Adapun Instagram dan Path yang sering “dipercandakan” sebagai “Facebook Merah” (warna yang identik dengan Facebook adalah biru), masing‑masing baru saya buka dua tahun belakangan.

Harus saya akui, waktu itu beraktivitas di Facebook dan Twitter sungguh mengasyikkan. Percakapan dan pembahasan yang beredar di lini masa adalah hal‑hal yang ringan dan menerbitkan tawa. Tidak ada pembahasan rumit yang membikin kulit kening berkerut, apalagi sampai membuat kepala dan hati jadi panas. Tentu saja belum ada pula yang sampai pada pemikiran untuk menjadikannya sebagai lapak jualan atau panggung kampanye politik. Benar‑benar dunia yang baru. Dunia yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk sejenak lari dari keriuhan dan kesemrawutan dunia yang serba sontoloyo.

Sayang seribu kali sayang, seiring meningkatnya level kecanggihan, sirna pulalah segenap kesenangan itu. Facebook, Twitter, juga Instagram, Path, maupun media‑media sosial lain, sekarang tiada lagi berbeda dari dunia yang beringsut di luar internet. Dunia di mana sudah makin sulit membedakan mana pejabat baik mana pejabat kotor, mana pandai agama mana dukun palsu mana penyamun, mana pengabdi mana tukang kibul, mana pecinta sejati mana bajingan tengik, mana perzinahan terbuka mana perzinahan tertutup. Dunia yang tiap‑tiap kejadian dan fakta dapat dengan mudah dipelencengkan dan diputarbalikkan.

Apakah media sosial sudah sedemikian buruk? Suka tak suka memang begitu. Begitu banyak kasus kriminal yang berawal dari, misalnya, tulisan atau unggahan di Facebook. Begitu sering orang terseret ke ranah hukum lantaran berceloteh di Twitter. Ada yang menjadi gila, ada yang bunuh diri. Di Indonesia, lahir undang‑undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang diterbitkan sebagai semacam rambu tapi pada praktiknya lumayan sering justru dijadikan sebagai senjata untuk menyerang, menyingkirkan, atau membungkam.

Sudah segawat itukah? Sesungguhnya masih ada penawar. Masih ada semacam jalan keluar yang paling tidak dapat memberikan setitik kecerahan supaya tak betul‑betul terjerumus, jatuh pada kedunguan yang akut. Yaitu membaca. Bagaimana melakukan tinjau ulang dengan cermat dan teliti, melakukan telaah dan pembandingan‑pembandingan terhadap informasi dan literatur‑literatur lain, sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk berpendapat dan kemudian bersikap.

Kita tahu ini amat sangat jarang dilakukan. Sedikit sekali yang mau repot. Jangankan untuk melacak kepada sumber‑sumber berbeda, bahkan dalam satu keriuhan diskusi, misalnya, untuk sekadar membaca hal‑hal apa saja yang sudah atau belum tersampaikan atau terjelaskan di sana pun tidak dilakukan.

Sebagian besar lebih senang memamah, atau bahkan menelan bulat‑bulat, apapun yang tersuguh di lini masa media sosial. Tulisan, foto, juga video. Lalu dengan pengetahuan serba sedikit yang bahkan bukan sekadar ngelmu kira‑kira, melakukan apa yang belakangan disebut dengan trial by the net, penghakiman jejaring. Atau istilah lain, social media bullying. Pada Facebook, kekonyolan mengenaskan ini dialirkan melalui mekanisme ‘share’, sedang di Twitter lewat ‘hastag’ atau ‘tagar’ (tanda pagar).

Tanpa pandang bulu, semua orang di seluruh tatanan kehidupan dan strata sosial bisa kena. Laki, perempuan, transgender, anak‑anak, remaja, orang tua, dari sipil sampai militer, dari pengemis, selebritis, olahragawan, wartawan, politikus, alim ulama, sampai menteri dan presiden.

Peramu Isu

Kecenderungan‑kecenderungan ini memudahkan kerja para peramu isu, peracik‑peracik kontroversi, baik yang melakukannya karena hobi, fanatisme, atau memang betul‑betul profesional (atas tiap isu yang dilemparkan yang bersangkutan memperoleh bayaran).

Tidak perlu bersusah‑susah menyusun rencana. Tidak perlu berpayah‑payah menyiapkan tangkisan‑tangkisan, karena, toh, sebodoh apapun isu tersebut akan tetap dimamah dan ditelan. Tak perlu pula cemas jika ada serangan balik dari orang‑orang yang menangkap kebodohan isu, karena orang‑orang seperti ini, orang‑orang yang membaca dan karenanya masih mampu berpikir logis dan jernih, akan segera dikeroyok oleh orang‑orang yang sepemahaman dengan para peramu isu dan peracik kontroversi tersebut.

Maka sekiranya Anda berkunjung ke media sosial di hari‑hari belakangan ini, Anda akan dengan gampang sekali menemukan penulis‑penulis yang disebut goblok oleh orang‑orang yang tidak bisa membedakan mana berita mana artikel mana esai mana cerpen mana puisi, yang bahkan sekadar untuk menuliskan komentarnya yang cuma dua tiga kalimat itu saja sama sekali belum beres tatanannya belum beres titik koma dan ejaannya.

Anda akan dengan mudah mendapatkan alim‑alim ulama, entah itu ustaz entah kyai, entah pendeta atau bikhu, yang disebut gadungan, sesat, atau kafir oleh orang‑orang yang baru kemarin sore mengenal agama. Pun Anda akan dengan sangat mudah sekali mencari cercaan, ejekan, dan makian yang dialamatkan pada para pejabat pemerintahan, para wakil rakyat, polisi, tentara, termasuk juga menteri‑menteri dan presiden dan wakil presiden.

Pendeknya, tiap‑tiap ketidaksepahaman adalah kesalahan‑kesalahan terbesar dalam sejarah umat manusia. Dia harus secepat‑cepatnya dihabisi.

Kesepahaman ini sendiri macam‑macam latarbelakangnya. Ada yang karena memiliki kesukaan yang sama. Atau sebaliknya, kebencian yang sama. Dan berangkat dari keduanya, maka kebodohan separah apapun bukan saja akan termaklumkan atau dipandang wajar, tapi lebih jauh bahkan sudah dianggap setara sahihnya dengan sabda dan wahyu.

Dimuat Harian Analisa
Minggu, 4 Oktober 2015

Polusi Visual dan Kengototan yang Tak Cerdas

Yang punya kacamata anti katarak siapa ya, udah mau katarak mataku liat jalanan kota ini, gak di pohon, gak di becak, gak di tiang jalan, semua membuat mataku keram.

TRIBUN MEDAN/RISKI CAHYADI ILUSTRASI

TRIBUN MEDAN/RISKI CAHYADI
ILUSTRASI

KALIMAT di atas merupakan satu celoteh yang saya kutip dari wall seorang facebooker. Dia memang tidak secara eksplisit menyebut hal apa yang membuat matanya keram hingga beringsut pula jadi katarak.

Namun tanpa perlu ia jelaskan berpanjang-panjangpun sebenarnya kita sudah terang menangkap maksudnya. Dekat-dekat pemilihan umum kepala daerah begini, apa lagi yang ada di (batang-batang) pohon, di (tenda-tenda) becak, dan di tiang-tiang jalan (barangkali maksudnya tiang listrik, tiang telepon, atau tiang penyangga papan iklan), jika bukan poster-poster para kandidat?

Begitulah para kandidat ini, yang entah sadar entah tidak, telah mengubah ruang-ruang kota menjadi galeri (pameran) foto yang menampilkan segala bentuk citra paling baik dan paling mengesankan dari sudut pandang mereka sendiri.

Pertanyaannya, kenapa foto? Sepertinya para kandidat kita ini, dengan lugu dan sangat percaya diri, menaruh kepercayaan penuh pada satu petuah lama: secarik gambar, satu lembar foto, setara kedudukan dan kekuatannya dengan seribu kata.

Fotografer bekerja pada dimensi citra. Pada era sekarang, yakni era yang pernah disebut Milan Kundera sebagai “era imagologi”, peran citra memang semakin krusial. Dalam foto, citra yang terbit bisa mengundang simpati, caci maki, bahkan bisa sekaligus kedua-duanya dalam waktu bersamaan, hingga menguarkan perdebatan berkepanjangan.

Dua contoh terbaik dari kecenderungan ini adalah rangkaian foto (photo essay) James Natchwey perihal pembantaian sejumlah warga oleh sekelompok orang mengatasnamakan organisasi massa di Jakarta, dan foto Kevin Carter yang menggambarkan seorang anak warga pengungsi Sudan merayap menuju tempat pembagian konsumsi (dan beberapa meter di belakang bocah perempuan kurus kering tersebut bertengger menunggu seekor burung bangkai).

Foto esai Natchwey memenangi 2nd prize World Press Photo kategori Spot News Stories pada tahun 1998 dan selembar hasil pemotretan Carter yang menyentak dunia itu diganjar Pulitzer Prize tahun 1993.

Di lain sisi, mencuat reaksi keras. Penerapan konsep Hak Azasi Manusia (HAM) dan sentimen keagamaan untuk foto Natchwey dan sorotan atas sengkarut kebijakan perang, politik, penanganan bencana, serta kepekaan dan kepedulian sosial atas foto Carter. Tidak tahan menghadapi tekanan, Kevin Carter bunuh diri.

Sekarang mari kita lihat foto-foto para kandidat yang oleh facebooker tadi justru dianggap sebagai polusi hingga membuat matanya mendadak katarak. Foto wajah serba bersih berkilatan, bersenyum, kontras dengan latar dan umumnya hingga tigaperempat atau setengah badan (amat jarang yang memampangkan foto seluruh badan).

Citra yang hendak ditampilkan jelas. Wajah dan ekspresi, busana yang dikenakan, siapa yang mendampingi, dan segala pernik lain, dianggap cukup untuk menyampaikan kehendak dan pemikiran. Tanpa perlu berumit-rumit, foto dianggap sanggup menjadi wadah delegasi diri sebagai sosok terbaik pilihan Tuhan.

Satu pertanyaan penting kemudian muncul. Apakah maksud dari pemampangan foto-foto dalam galeri pameran massal dadakan ini berhasil sampai? Saya kira tidak. Sebaliknya, konsep komunikasi macam ini justru jadi blunder yang membuat citra mereka jatuh ke titik terendah.

Ada setidaknya dua perkara. Pertama, foto-foto itu sudah dipampangkan sejak jauh-jauh hari dan jumlahnya semakin lama semakin banyak hingga keberadaannya justru mengganggu. Alih-alih meluangkan waktu barang semenit-dua menit untuk mencermati foto para kandidat berikut pesan yang hendak mereka sampaikan (lewat kalimat singkat padat yang biasanya tertera di sana), masyarakat sudah keburu mendongkol.

Reaksi ini adakalanya ditandai pula dengan aksi perusakan terhadap foto-foto itu, entah merobeknya, membolongi bagian mata dan mulutnya, atau menambahkan kacamata, atau tahi lalat Rano Karno, bahkan kumis jenaka ala Jojon dan Charlie Chaplin.

Sebab kedua, erat hubungannya dengan pesan. Sebagian besar berupa pesan standar yang di negeri terkasih ini sudah lama jatuh jadi kata-kata klise. Bersih, muda, peduli, santun, merakyat, cerdas, patriotik, bermoral, adil, amanah, cinta damai, jujur, berkomitmen, sederhana, setia, ikhlas berjuang, religius, anti korupsi, anti kolusi, anti nepotisme, dan masih banyak lagi.

Sejumlah kandidat sebenarnya berupaya lebih kreatif. Tapi sedikit sekali yang selamat. Kebanyakan malah terkesan seperti sedang membanyolkan kisah-kisah ngibul layaknya badut pandir di sudut pasar malam –lucu, serba konyol, menunjukkan ketidakcerdasan dengan terang-benderang. Maka simpati pun lenyap tak berbekas. Para pemilih, yaitu rakyat yang kerap diatasnamakan, tidak ingin lagi terlena oleh iklan-iklan murahan. Iklan yang telah berkali-kali telah terbukti tidak lebih dari sekadar ngibul.

 

Cara Lebih Canggih

Kandidat-kandidat yang memiliki modal lebih besar mencoba peruntungan lewat cara-cara lebih canggih dan –tentu saja– berongkos jauh lebih mahal. Untuk menyebut beberapa saja, ada yang memampangkan poster “segede-gede gajah” di titik-titik strategis di kawasan inti kota. Poster-poster ini merupakan hasil kerja kolaboratif fotografer dan desain grafis profesional, sehingga dari sisi visual memang lebih eye catching, tidak meriah tapi kampungan serupa poster film nasional kelas tiga di era 1980-an.

Ada pula yang memilih beriklan di media massa cetak, online, dan elektronik. Tentu kita ingat bagaimana para calon presiden pada Pemilu 2014 lalu membeli slot tayang di antara iklan komersil televisi untuk menyelipkan film-film pendek berisi puja-puji hiperbolik menyangkut diri mereka (dan juga partainya). Mereka tampil di kuis-kuis, baik yang diproduksi sendiri maupun produksi pihak lain, lalu memberi hadiah-hadiah menggiurkan. Mereka bahkan ikut nimbrung di konser musik dan jadi cameo di sinetron.

Ini semua, lagi-lagi, hanya menegaskan upaya mereka sebagai bentuk kengototan yang tak cerdas. Bahkan cenderung memalukan dan menyedihkan dan hanya mengundang cibiran daripada kekaguman. Jika punya akses untuk berbicara langsung para bakal-bakal calon pemimpin ini, saya akan menyarankan beliau-beliau untuk mengganti penasihat kampanye mereka, hingga ke depan bisa “menjual diri” dengan cara yang tidak saja lebih cerdas, tapi juga lebih bermartabat.

Dimuat Harian Analisa
Rabu, 12 Agustus 2015
Halaman 24

Upaya Mencari Tuan Santa

Ilustrasi | ANALISA : RENJAYA SIAHAAN

Ilustrasi | ANALISA : RENJAYA SIAHAAN

ZAINUDDIN bin Haji Saipul Mustajab pusing tujuh keliling. Anaknya Rahmat Yanis, selepas Magrib sepekan lalu, menyampaikan permintaan yang sungguh mati tak pernah ia sangka bakal meluncur dari mulut bocah enam tahun itu.

“Abah, tanggal 25 itu hari apa?”

“Hari Kamis.”

“Bukan.”

“Iya, Kamis. Coba kau lihat di kalender.”

“Bukan itu maksudku. Kata kawan-kawanku, tanggal 25 itu hari raya. Hari raya apa?”

“Hari raya?”

“Iya.”

“Hari raya? Oh…, iya. Tapi bukan hari raya kita, Nak. Hari raya kita masih lama.”

“Kata kawan-kawanku, di malam itu ada kakek-kakek gendut yang baik, ya, Bah?”

“Kakek gendut?”

“Iya. Dia kasih hadiah. Kasih makanan.”

Ah… Iya, iya. Kakek gendut.”

“Abah kenal sama dia.”

Nggak.”

“Kawan-kawan Abah ada yang kenal?”

Hmmm… Kayaknya ada. Kenapa?”

Bilangin supaya datang ke rumah kita.”

“Untuk apa?”

“Aku mau minta sesuatu.”

“Minta apa?”

“Abah nggak boleh tahu.”

“Rahasia, ya?”

“Iya, rahasia.”

“Kalau kakeknya nggak mau datang bagaimana?”

“Abah cari. Kawan-kawan Abah itu pasti punya alamatnya.”

Bagaimana Zainuddin tak pusing. Ia memang tak lantas menuntaskan rasa penasaran Rahmat Yanis, dan semenjak malam itu hingga lima hari berselang, nyaris saban bertemu muka, anaknya ini terus mengulang pertanyaan tersebut. Dapatkah Sinterklas, sang kakek gendut, datang ke rumah mereka di malam Natal?

Sebenarnya ini perkara sepele belaka. Jika saja Rahmat Yanis sudah sedikit lebih besar, ia tinggal bilang bahwa Sinterklas tidak akan pernah datang ke rumah mereka. Sinterklas cuma datang ke rumah yang memajang pohon terang.

Kalau saja Rahmat Yanis sudah sedikit lebih besar lagi, tentulah ia akan mengatakan bahwa Sinterklas sesungguhnya tak lebih dari sekadar mitos yang dikarang berabad lalu untuk tujuan menguatkan kembali iman umat nasrani yang pada masa itu nyaris luntur akibat buai dan teror para penyihir. Ia tak pernah benar-benar ada. Ia hanya mahluk yang diciptakan dari campuran fakta sejarah, kepercayaan, dan tahyul, cerita dari mulut ke mulut belaka.1)

Tentu saja dia tak mungkin memaparkan hal ini. Pula belum tepat rasanya apabila  ia menjelaskan bahwa Sinterklas dan Santa Claus sebenarnya merupakan dua figur yang serupa tapi tak sama. Sinterklas adalah tradisi turun-temurun yang sempat menimbulkan perdebatan di kalangan gereja. Sedangkan Santa Claus, kakek gendut bermantel salju warna merah dengan janggut memutih yang tergerai panjang dan jatuh menyentuh dada, figur yang barangkali dimaksudkan Rahmat Yanis, cuma merek dagang Coca Cola.2)

****

Pada hari keenam, di tengah kebingungan yang kian membekap, Zainuddin bertanya pada kawan-kawannya, apa yang harus ia lakukan. Dan kawan-kawannya ini, sebagian besar tidak merayakan natal, memberinya sejumlah masukan.
Ada yang menyarankan agar ia mengabaikan pertanyaan dan permintaan Rahmat Yanis. Anak-anak biasa ingin yang aneh-aneh. Jika tak terkabul, mereka akan menangis sebentar, setelah itu lupa. Ada yang menyarankan ia memberi pengertian pada Rahmat Yanis. Paksakan saja meski anak itu akan terbingung-bingung dan kemungkinan bertanya lebih jauh. Tak apa bingung sekarang, kata mereka, dari pada bingung berkelanjutan. Ada pula yang menyarankan ia untuk mengabulkan permintaan itu. Ada yang lebih spesifik. Mengabulkan, dan dirinya datang menemui Rahmat Yanis, dalam rupa Tuan Santa. Ada yang bersedia meminjamkan kostum itu.

Saran terakhir ini menarik. Namun setelah menimbang-nimbang, Zainuddin  memutuskan untuk tidak melakukannya. Ia tak bisa seperti Tim Allen, John Goodman, apalagi Robin Williams. Seorang kawan menunjukkan potongan film terakhir aktor kawakan itu sebelum  meninggal secara tragis. Akting yang memukau.3)

Zainuddin merasa tak punya kemampuan untuk melakukannya. Selain itu, terus terang, ia agak gentar setelah mendengar pendapat  kawan lain yang fasih memaparkan ayat-ayat.

Esok harinya Zainuddin membuat keputusan. Kecuali menyamar sebagai Santa, ia merangkum seluruh saran dan pendapat kawan-kawannya. Siang menjelang sore, Zainuddin menyuruh istrinya mencari tahu gerangan apa yang akan diminta Rahmat Yanis dari Tuan Santa. Satu jam kemudian, istrinya datang membawa kabar yang membikin hatinya berdenyut-denyut.

“Mau tablet kayak punya anak tetangga sebelah. Supaya bisa main game Boboiboy.” 4)

Duh! Perangkat canggih seperti itu sungguh tak terjangkau kantongnya. Terlebih di zaman ekonomi serba sulit begini. Presiden baru, sebagaimana halnya presiden-presiden terdahulu, menaikkan harga minyak. Dan sebagaimana telah menjadi kelaziman pula, harga-harga kebutuhan pokok ramai-ramai terkerek naik. Padahal gajinya tak ikut naik. Malah sebaliknya, semakin ciut oleh sekian banyak potongan.

Zainuddin kembali menemui kawan-kawannya. Sebagian mereka yang kebetulan sama kere dengan dirinya, hanya tersenyum kecut sembari mengangkat bahu. Sebagian dari mereka yang kere ini, tentunya semata dengan dorongan semangat daripada tak memberi pendapat sama sekali, menyarankan agar Zainuddin mengacuhkan permintaan Rahmat Yanis. Atau sekalian kau beri pengertian pada dia, kata mereka.

Sebagian kawannya yang lain memberi jalan keluar yang jauh lebih mencerahkan dan tak disangka-sangka. Kebetulan mereka memang mendapat lebih banyak peruntungan hidup. Mereka urunan, iuran, dan menyumbangkan uangnya untuk Zainuddin. Utang? tanya Zainuddin. Mereka menggeleng. Zainuddin terharu. Sungguh, kecuali ucapan terima kasih, ia tak bisa merangkai kata lain yang pas untuk menggambarkan suasana hatinya saat itu. Ia lega luar biasa.

Malamnya, Zainuddin pergi ke mal dan membeli tablet dari satu toko yang seluruh pekerjanya tampak mirip Santa Claus, meski tanpa janggut.

****

Zainuddin sedang duduk di depan televisi saat pundaknya ditepuk Rahmat Yanis. Masih pagi. Di luar udara masih dingin dan dari gereja di ujung jalan lonceng terdengar berdentang-dentang. Rahmat Yanis memegang tablet itu.

“Ada apa, Nak?”

“Kemarin kakek gendut ke rumah kita, ya,  Bah?”

Zainuddin memutar otak mencari jawaban. Ia tidak ingin berbohong. Tapi dia juga tak mau membuat Rahmat Yanis bingung atau kecewa. Bagaimana caranya?

“Aku, kok, nggak dibangunkan, Bah?”

Engg… Begini, Nak, sebenarnya…”

“Kalau aku Abah bangunkan, aku bisa bilang sama kakek itu supaya nggak usah jadi kasih hadiah tablet.”

Zainuddin terperanjat. “Lho, kenapa begitu, Nak?”

“Abah belum gajian?”

“Belum.”

“Kemarin aku ikut Umi ke kedai Atok Awang. Umi ambil beras sama garam sama ikan asin. Umi bilang bayarnya nanti waktu Abah gajian. Atok bilang ini yang terakhir. Kalau tadi malam aku Abah bangunkan, aku mau bilang sama kakek itu supaya tabletnya diganti duit saja. Supaya Umi bisa bayar utang.”

Zainuddin merasa dirinya seperti kena setrum.

Medan, Desember 2014

Keterangan:
1) Sinterklas merupakan karakter “rekaan” yang dibuat berdasarkan riwayat hidup Saint Nicholaas, seorang uskup yang lahir pada tahun 280 sesudah masehi di Patara (kini wilayah Turki). Sepanjang hidup ia terkenal dermawan. Pada awalnya, Saint Nicholaas justru dianggap “penolong” bagi para pelaut. Ini bermula dari kisah kepahlawanannya saat berada di atas kapal yang membawanya untuk berziarah ke Yerussalem. Setelah meninggal dan jenazahnya dibawa dan dikebumikan di Italia, para pemuka gereja di negeri ini menggunakan kisahnya untuk mengembalikan keimanan pemeluk nasrani yang saat itu tengah dilambungkan oleh pesona sihir.
2) Santa Claus dalam rupa yang umum dikenal sekarang, merupakan pengembangan dari karakter yang digambar oleh seorang kartunis bernama Thomas Nast dan dimuat pertama kali di Harper’s Weekly pada 1862. Tahun 1920, The Coca Cola Company, menggunakan karakter ini untuk iklan produk mereka yang ditayangkan di surat kabar The Saturday Evening Post. Sepuluh tahun kemudian, kartunis dan artis desain grafis, Fred Mizen, memperbarui karakter ini. Selengkapnya baca artikel berjudul 5 Thing You Never Knew About Santa Claus and Coca Cola, pada http://www.coca-colacompany.com
3) Tim Allen memerankan Santa Claus alam tiga film. Seluruhnya bergenre komedi. Yakni The Santa Clause (1994), The Santa Clause 2 (2002), dan The Santa Clause 3: The Clause Escape (2006). John Goodman bermain dalam The Year Without a Santa Claus (2006). Sedangkan Robin William tampil terakhir kali dalam film A Merry Fringgin Christmas (2014).
4) Karakter superhero asal Malaysia.

Dimuat Harian Analisa
Minggu, 4 Januari 2014
Halaman 6

Lionel Messi ke PSMS

Seorang kawan menuliskan di dinding akun Facebook miliknya, bahwa Lionel Messi akan segera pindah dari Barcelona ke PSMS Medan. Sudah tentu ini cuma lelucon. Bahkan boleh dibilang, “kadar melucunya” sudah kelewatan.

AFP PHOTO/ SAKIS SAVVIDES LIONEL Messi

AFP PHOTO/ SAKIS SAVVIDES
LIONEL Messi

BAHWA Lionel Messi hengkang dari Camp Nou, klub yang telah ia bela sejak masih bocah, bukanlah hal mustahil. Media-media di Spanyol, juga Inggris, Italia dan Jerman, dalam dua hari terakhir, memuat rumor ini. Messi disebut-sebut tak betah lagi di Barcelona dan manajernya tengah membuka pembicaraan dengan tiga klub elite English Premier League.

Ketiga klub ini belum jelas identitasnya. Mungkin Manchester United. Mungkin Chelsea. Mungkin pula Manchester City. Namun, pasti, tidak mungkin ia merapat ke Kebun Bunga, kandang klub yang sedang berupaya bangkit dari keterpurukan berkepanjangan, PSMS Medan.

Lelucon jadi bertambah lucu, karena ternyata, banyak yang meresponnya secara serius. Mereka menuding Messi dungu lantaran mau pindah ke PSMS. Ada juga yang menghujat PSMS. Menyebut manajemen klub berjuluk Ayam Kinantan ini tidak berperikemanusiaan: merekrut Messi yang harganya setinggi langit bisa, tapi membayar gaji pemain yang tertunggak berbulan- bulan tak bisa.

Hahaha… Saya memang gagal menahan diri untuk tak tertawa. Namun jika dicermati lebih jauh, respon terhadap lelucon Messi dan PSMS ini, sebenarnya wajar. Sebab secara umum, inilah tipikal sebagian besar pengguna sosial media di Indonesia. Reaktif tak menentu dan terburu-buru, emosional tanpa rujukan, cenderung memandang segala sesuatunya dari kacamata serba negatif dan merasa bangga karenanya.

Beruntung, kawan yang melontarkan lelucon tidak memiliki maksud di luar untuk melucu -meski sehari-hari ia sekadar penggemar sepakbola, bukan pelawak. Ia bukanlah  semacam agen media sosial, bukan buzzer, yakni orang-orang yang terlibat kesepakatan sewa jasa dengan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu. Ia bukan pelontar isu, bukan pengacau dan penjungkirbalik isu, bukan penggiring opini. Sekali lagi, ia hanya ingin melucu.

Tapi begitulah, lantaran sudah terlalu sering dicekoki oleh lelucon yang diserius-seriuskan hingga karenanya jadi murahan dan tak bermutu, terutama di bidang politik dengan latar belakang dendam Pemilu Presiden, masyarakat pengguna sosial media jadi kehilangan selera humornya. Kemarahan begitu cepat tersulut. Di antara pengamat-pengamat serba tahu berseliweran para pencibir dan penggerutu. Selama 24 jam penuh, tiada hal sehalus butiran debu pun yang luput dari mereka.

Tatkala apa yang disikapi dengan reaksi hiperbolik ini kemudian ternyata tidak benar, tidak pernah ada penyesalan atau kata maaf. Atau setidak-tidaknya mengakui kekeliruan. Sebaliknya yang mengemuka justru upaya-upaya pembenaran.

Tentu saja tidak semua isu yang dipapar oleh para agen dan buzzer ini merupakan lelucon. Banyak juga yang didasari fakta. Misalnya, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), penunjukan jaksa agung dari kalangan partai politik, silang sengkarut perkara undangan terhadap menteri oleh DPR RI,  serta kebijakan luar negeri Indonesia, khususnya kerjasama G-20 dan batas perairan, plus “rebut- rebutan” ikan dengan Malaysia.

Isu-isu ini sesungguhnya potensial menjadi bahan diskusi yang bagus dan mencerahkan. Namun tabiat tadi menggerus potensi, membuatnya anjlok ke titik kerendahan berpikir. Diskusi bergerak liar, lebih ke arah hujatan, yang pada akhirnya berkembang jadi debat kusir tak berkesudahan, karena kubu penghujat dan kubu (pihak yang merasa) dihujat, sama-sama memiliki argumentasi, memiliki keyakinan, memiliki filosofi, yang diyakini dengan teguh dan membabibuta.

Entah kapan segala kekonyolan ini berkesudahan. Barangkali ketika Lionel Messi benar-benar hengkang dari Barcelona, terbang ke Medan, lantas bermain untuk PSMS.(*)

Dimuat http://www.tribun-medan.com
Kolom Ngopi Sore
Sabtu, 29 November 2014

Homo Medanensis Hanya Pedestrian Tanggung

Hidup di kota yang tengah beranjak menuju metropolitan seperti Medan, terutama bagi mereka yang memandang hanya dari sisi luar, seperti mengesankan kebanggaan: betapa elitenya tiap detik hidup dalam kemewahan dan keglamouran. Lihatlah gedung‑gedung bertingkat yang tumbuh cepat itu. Gedung‑gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan dengan ragam etalasenya yang serba mengundang nyali untuk membeli.

FOTO: DEDY SINUHAJI MELINTAS Trotoar

FOTO: DEDY SINUHAJI
MELINTAS Trotoar

BENARKAH demikian? Untuk mendapatkan jawaban yang lebih jujur, dan tidak tendensius, maka pertama‑tama sisi pandangnya harus diubah. Lihatlah dari dalam dan mulailah dari yang paling dekat dan paling akrab, trotoar.

Andreas Harsono, aktivis kemanusiaan cum wartawan, dalam satu esainya yang dimuat The Jakarta Post, menyebut trotoar merupakan gambaran sahih demokrasi kota besar. Ia menjadi semacam elemen dasar interaksi sosial. Sebab hanya di trotoar, warga kota dari berbagai strata ekonomi dapat bertemu dan (mungkin) berinteraksi dalam status yang sama, yakni sebagai pedestrian, sebagai pejalan kaki. Harsono memperbandingkan trotoar di New York dan Jakarta.

Tentunya memang sangat bertolak belakang. New York disebut sebagai ibukota dunia bukan semata karena kapitalisme, melainkan keterbukaannya. Pencakar langit adalah wajahnya yang pongah, namun jiwanya gedung-gedung tua untuk pertunjukan balet dan teater, serta bilah-bilah trotoar yang menampung kafe-kafe yang akrab, hangat, manusiawi. Bilah trotoar yang membuat Truman Capote jatuh cinta dan menuliskan Breakfast at Tiffany’s yang melegenda.

Tahun 2010, lembaga Clean Air Initiative for Asian Cities Center, mengadakan survei tentang kualitas trotoar dan tingkat kepuasan warga terhadap ruang gerak bagi pejalan kaki di 13 ibukota negara di Asia, dan hasilnya, Jakarta, berada di urutan paling belakang. Trotoar‑trotoar di Jakarta yang sumpek dan kumuh dan seringkali menguarkan bau tak sedap, bahkan akhirnya disebut dengan istilah “tidak manusiawi”. Lembaga yang sama menilai, untuk Indonesia, kota dengan trotoar terbaik adalah Surabaya. Selain desain dan pengelolaan, indikator penilaian adalah keamanan pengguna dari tindak kriminal, perilaku pengendara motor terhadap trotoar, serta fasilitas untuk penyandang cacat.

Bagaimana dengan Medan? Sudah sekian tahun lamanya warga kota ini –para “Homo Medanensis”, mulai dari yang jelata sampai para yuppies yang berdasi dan berjas saban hari– sangat mendambakan trotoar yang jauh dari kesan gersang, riuh, dan kumuh.

Memang, setidaknya dalam dua‑tiga tahun terakhir, pemerintah Kota Medan telah memperlebar sejumlah ruas trotoar di beberapa kawasan. Terutama kawasan yang merupakan sentra keramaian. Misalnya di kawasan Jl Ahmad Yani dan Jl KH Zainul Arifin. Tidak hanya lebar, trotoar‑trotoar di kawasan ini, juga di seputaran Gatot Subroto, Jl Dr Mansyur, dan Jl Sisingamangaraja, tampilannya dibikin lebih manis dengan permukaan berwarna merah bata.

Namun begitulah, sungguh sayang, lemahnya fungsi pengawasan pemerintah kota yang diperparah oleh rendahnya tingkat kesadaran warga, membuat implementasi dari tujuan pengadaan trotoar‑trotoar ini jadi gagal terwujud dan membuat para “Homo Medanensis” menjadi sekadar pedestrian tanggung.

Bagaimana tidak! Sebutlah sembarang pedagang makanan dan Anda akan dengan mudah menemukan lapaknya di trotoar. Juga lapak‑lapak pedagang rokok, pakaian, aksesoris, poster, telepon selular murah‑meriah dan isi pulsa elektrik. Di trotoar pula pada penjual obat kuat dan ahli supernatural memamerkan kemampuan. Belum lagi persoalan klasik lain semacam pengalihan fungsi menjadi area parkir liar, lokasi kaum gelandangan dan pengemis “bertempat tinggal” dan mencari nafkah, atau pertapakan bagi tiang-tiang pancang papan iklan raksasa. Ditambah lagi kesemena‑menaan para pengendara, terutama sepeda motor, yang seenak perut menyerobot trotoar demi menghindarkan mereka dari antrean saat arus lalulintas tersendat.

Maka lengkaplah sudah penderitaan para pejalan kaki. Mereka harus betul-betul mengalah (sebab ngotot mempertahankan hak, justru akan jadi pihak yang dipersalahkan). Mereka harus rela turun ke badan jalan dan tiap saat diintai ancaman terserempet para pengendara yang kian ugal‑ugalan.

 

Kota untuk Manusia

Belum lama ini, sekelompok anak muda kreatif dari Jogja, membuat film pendek berjudul Kota untuk Manusia yang menyentil secara keras kehidupan masyarakat kota besar. Tepatnya, laku hidup yang pelan-pelan telah mengubah wajah trotoar Kota Jogja, dari wajah budaya menjadi wajah metropolitan yang sumuk dan penuh ketergesa-gesaan.

Kota untuk Manusia secara umum adalah aksi yang bertujuan untuk pembelajaran bersama dan pembangunan kesadaran bersama tentang upaya mewujudkan ruang kota, agar makin berorientasi kepada manusia.

Intinya, ingin disebut bahwa upaya mewujudkan ruang gerak yang nyaman dan representatif bagi pejalan kaki tidak dapat berjalan sendiri‑sendiri. Perlu adanya sinergi antara perencana/perancang pembangunan (teknokrat dan akademisi), pemegang wewenang birokrasi (pemerintah kota), dan warga, dalam hal ini pengguna trotoar dan pemilik lahan.

Para perencana dan perancang pembangunan kota, sebaiknya jangan hanya berpatokan pada teori. Trotoar‑trotoar terbaik di London, Paris, Tokyo, New York, atau bahkan Surabaya, Jogjakarta, dan Solo, belum tentu cocok dibangun di Medan. Perlu terlebih dahulu dilakukan peninjauan dan pengkajian terhadap persoalan‑persoalan yang bersifat sosio‑kultural, hingga rancangan yang nantinya diwujudkan dapat mencerminkan kearifan lokal, bukan sekadar dalam tampilan namun lebih jauh bagaimana menjadi –katakanlah– jalan tengah yang mengakomodir keinginan dan kepentingan birokrasi dan warga.

Para perencana dan perancang pembangunan kota selanjutnya mesti memberikan masukan‑masukan yang kontekstual pada pemegang wewenang birokrasi untuk membuat aturan‑aturan. Di lain sisi, pada saat bersamaan, warga juga harus menaati aturan ini. Jangan protes, apalagi menggugat, apabila pemegang wewenang birokrasi bersikap tegas.

Kota Medan sudah tua. Bulan Juli lalu telah genap berusia 424. Semestinya, makin tua, makin tampaklah kematangannya. Bukan malah semakin centang-prenang dan makin jauh dari kepantasan sebagai kota untuk manusia. Jadi, marilah bersikap dewasa dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga kota. Sudah saatnya kita berhenti saling menyalahkan.

Dimuat Muse Magazine
Edisi Oktober 2014