PAGI-pagi sekali, di hari pertama 2015, seorang kawan mengirimkan pesan lewat WhatsApp. Isinya satu pertanyaan pendek: “Bung, hal apa, di negerimu ini, yang tidak membuat rakyatnya terbelah jadi dua?”
Untuk beberapa lama saya mencoba mencari jawaban dan kurang lebih satu jam kemudian, saya membalas pesan itu: “nggak ada, Bung”. Pesan balasan ini saya lengkapi dengan icon emoji (yang menurut saya) ajaib. Benda bulat kuning yang tersenyum tapi sekaligus berairmata. Icon yang barangkali menggambarkan perasaan gembira, dan di saat yang sama, prihatin.
Apa boleh buat. Setelah saya runut-runut memang demikianlah kenyataannya. Memang terbelah dua. Memang pro dan kontra. Tidak boleh? Tentu saja boleh. Pro dan kontra, sepakat tak sepakat, juga segala bentuk silang sengketa, sudah jamaknya bagi kita manusia di kehidupan fana. Tuhan menitipkan otak dan hati untuk berpikir dan merasa. Dan otak serta hati ini, walaupun berasal dari sumber yang sama, kapasitas dan kualitasnya berbeda-beda. Ada yang cemerlang, ada yang jongkok. Ada yang lembut bersih ada yang liat kotor. Ada yang gampang tergerak ada yang sungguh-sungguh bebal.
Namun hakekat ini tidak abadi. Hal-hal tertentu bisa mendorongnya berubah. Semakin cemerlang atau semakin jongkok. Semakin lembut bersih atau semakin liat kotor. Semakin gambang tergerak atau semakin bebal. Bahkan bisa saling bertukar tempat. Dan inilah yang belakangan terjadi di Indonesia.
Kran demokrasi yang terbuka lebar sejak 1998 membawa serta kotoran-kotoran yang menyumbatnya selama lebih dari 32 tahun. Kebebasan dan keterbukaaan yang disambut dengan histeria cacat. Histeria yang tidak siap. Maka demokrasi pun menjelma kebebasan dan keterbukaan yang disalahpahami sebagai kenyinyiran.
Lebih celaka, kenyinyiran ini dipraktikkan secara konsisten dengan tingkat kepandiran yang terus bertambah menyedihkan. Apa-apa disikapi dengan perspektif berseberangan. “Aku” dan “Kau”; “Kami” dan “Kalian”; “Kita” dan “Mereka”. Mulai dari urusan harga cabai, gosip artis, politik yang menyangkut ideologi dan partai-partai, kebijakan pemerintah, hingga perkara- perkara yang terkaitpaut keimanan.
Sepanjang 2014, kenyinyiran-kenyinyiran yang konsisten ini, kadangkala jadi tontonan yang menghibur. Patut digarisbawahi bahwa menghibur di sini prinsipnya sama seperti icon emoji yang saya kirimkan sebagai pesan WhatsApp tadi. Geli sekaligus prihatin. Tertawa tapi sebenarnya sedih.
Lihatlah bagaimana “Aku-Kau”; “Kami-Kalian”; “Kita-Mereka”; terbentuk untuk perkara tanding-menandingi. Ada gubernur tandingan, ada DPR tandingan, ada partai politik tandingan. Lalu soal kafir-mengkafirkan. Kafir mengucapkan selamat untuk perayaan hari besar agama lain. Kafir mengikuti perayaan tahun baru. Kafir meniup terompet dan mengenakan topi kerucut lantaran itu adalah rekayasa Freemason dan Illuminati untuk membuka jalan bagi pemimpin mereka, Sang Dajjal, menguasai dunia. Juga pastinya hujat-menghujat, kecam-mengecam, kutuk- mengutuk, perihal kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi-JK. Untuk yang terakhir ini sulit menyebutnya satu-persatu lantaran daftarnya sudah sangat panjang. Paling anyar adalah penurunan kembali harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Maka mengemukalah kenyinyiran-kenyinyiran dari orang-orang yang berpikiran ajaib. Mereka bilang, BBM tidak turun Rp 900, melainkan naik Rp 1.100. Artinya, bukan turun dari Rp 8.500, tetapi naik dari Rp 6.500.
Ngawur? Mungkin tidak. Di luar faktor-faktor ketidaksukaan terhadap pemerintah yang dipimpin oleh orang yang bukan pilihan mereka, pernyataan ini didasari oleh beragam penjelasan ilmiah. Penjelasan di luar hitung-hitungan matematis. Bukan semata 8.500-900 atau 6.500+1.100. Mereka bicara soal Ron 88 dan Ron 92. Mereka bicara soal Pertamina dan Petral. Mereka bicara soal untung-rugi pemerintah. Mereka bicara percaturan bisnis dan mafia minyak dunia di pasar Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika, dan Asia. Analisis luar biasa dan membikin ciut nyali mereka yang sehari-hari cuma menghabiskan waktu menonton acara musik pagi dan sinetron kejar tayang.
Tapi begitulah, dari sini, semakin terang fakta betapa orang-orang di negeri terkasih ini begitu betah memelihara dirinya dengan pikiran yang serba ruwet dan njelimet. Selalu berpikir besar dalam angan namun nol besar dalam tindakan. Menakjubkan dalam berkomentar tapi nyungsep dalam praktik.
Kenapa tak mau berpikiran sederhana saja? Ah, kesederhanaan tak menjadi pilihan lantaran tidak terkesan keren. Padahal seringkali, hal-hal besar justru berangkat dari kesederhanaan. Setelah melakukan pencarian yang gila-gilaan, Ernest Hemingway, mencapai puncak dari segenap kebesarannya di dunia sastra lewat novel pendek yang sederhana, “The Old Man and The Sea“. Pula begitu Eric Clapton. Ia menciptakan banyak komposisi blues, rock, dan pop, bertema cinta. Namun “kependekarannya dalam dunia cinta” diakui lewat lagu yang sama sekali tidak memamerkan kehebatan Clapton sebagai pencabik gitar, “Wonderful Tonight“. Satu kisah remeh-temeh perihal perjalanan sepasang kekasih ke jamuan makan malam yang memuncak pada salah satu rangkaian kata mutiara cinta abad ini: “I feel wonderful because i see the love light in your eyes.”
Jadi begitulah, kawan-kawan. Dunia semakin tua. Berhentilah berpikir ruwet dan njelimet dan menempatkan diri sebagai pencerca dan pengutuk, sebab itu bukan saja akan membuat Anda sekalian terlihat menyedihkan, tapi juga lebih jauh menjerumuskanmu ke dalam kelompok orang-orang yang tak beruntung. Dunia cuma tempat untuk numpang lewat. Namun Tuhan juga menciptakan persinggahan-persinggahan. Kalian bisa ngopi dan bercinta dan nonton bola. Alangkah sia-sianya jika kau isi hari-harimu yang serba singkat ini melulu dengan kemurungan dan kemarahan.
Dimuat rubrik Ngopi Sore
http://www.tribun-medan.com
Kamis, 1 Januari 2015