Perihal Konsistensi Kenyinyiran dan Pikiran yang Sederhana

Ilustrasi

Ilustrasi

PAGI-pagi sekali, di hari pertama 2015, seorang kawan mengirimkan pesan lewat WhatsApp. Isinya satu pertanyaan pendek: “Bung, hal apa, di negerimu ini, yang tidak membuat rakyatnya terbelah jadi dua?”

Untuk beberapa lama saya mencoba mencari jawaban dan kurang lebih satu jam kemudian, saya membalas pesan itu: “nggak ada, Bung”. Pesan balasan ini saya lengkapi dengan icon emoji (yang menurut saya) ajaib. Benda bulat kuning yang tersenyum tapi sekaligus berairmata. Icon yang barangkali menggambarkan perasaan gembira, dan di saat yang sama, prihatin.

Apa boleh buat. Setelah saya runut-runut memang demikianlah kenyataannya. Memang terbelah dua. Memang pro dan kontra. Tidak boleh? Tentu saja boleh. Pro dan kontra, sepakat tak sepakat, juga segala bentuk silang sengketa, sudah jamaknya bagi kita manusia di kehidupan fana. Tuhan menitipkan otak dan hati untuk berpikir dan merasa. Dan otak serta hati ini, walaupun berasal dari sumber yang sama, kapasitas dan kualitasnya berbeda-beda. Ada yang cemerlang, ada yang jongkok. Ada yang lembut bersih ada yang liat kotor. Ada yang gampang tergerak ada yang sungguh-sungguh bebal.

Namun hakekat ini tidak abadi. Hal-hal tertentu bisa mendorongnya berubah. Semakin cemerlang atau semakin jongkok. Semakin lembut bersih atau semakin liat kotor. Semakin gambang tergerak atau semakin bebal. Bahkan bisa saling bertukar tempat. Dan inilah yang belakangan terjadi di Indonesia.

Kran demokrasi yang terbuka lebar sejak 1998 membawa serta kotoran-kotoran yang menyumbatnya selama lebih dari 32 tahun. Kebebasan dan keterbukaaan yang disambut dengan histeria cacat. Histeria yang tidak siap. Maka demokrasi pun menjelma kebebasan dan keterbukaan yang disalahpahami sebagai kenyinyiran.

Lebih celaka, kenyinyiran ini dipraktikkan secara konsisten dengan tingkat kepandiran yang terus bertambah menyedihkan. Apa-apa disikapi dengan perspektif berseberangan. “Aku” dan “Kau”; “Kami” dan “Kalian”; “Kita” dan “Mereka”. Mulai dari urusan harga cabai, gosip artis, politik yang menyangkut ideologi dan partai-partai, kebijakan pemerintah, hingga perkara- perkara yang terkaitpaut keimanan.

Sepanjang 2014, kenyinyiran-kenyinyiran yang konsisten ini, kadangkala jadi tontonan yang menghibur. Patut digarisbawahi bahwa menghibur di sini prinsipnya sama seperti icon emoji yang saya kirimkan sebagai pesan WhatsApp tadi. Geli sekaligus prihatin. Tertawa tapi sebenarnya sedih.

Lihatlah bagaimana “Aku-Kau”; “Kami-Kalian”; “Kita-Mereka”; terbentuk untuk perkara tanding-menandingi. Ada gubernur tandingan, ada DPR tandingan, ada partai politik tandingan. Lalu soal kafir-mengkafirkan. Kafir mengucapkan selamat untuk perayaan hari besar agama lain. Kafir mengikuti perayaan tahun baru. Kafir meniup terompet dan mengenakan topi kerucut lantaran itu adalah rekayasa Freemason dan Illuminati untuk membuka jalan bagi pemimpin mereka, Sang Dajjal, menguasai dunia. Juga pastinya hujat-menghujat, kecam-mengecam, kutuk- mengutuk, perihal kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi-JK. Untuk yang terakhir ini sulit menyebutnya satu-persatu lantaran daftarnya sudah sangat panjang. Paling anyar adalah penurunan kembali harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Maka mengemukalah kenyinyiran-kenyinyiran dari orang-orang yang berpikiran ajaib. Mereka bilang, BBM tidak turun Rp 900, melainkan naik Rp 1.100. Artinya, bukan turun dari Rp 8.500, tetapi naik dari Rp 6.500.

Ngawur? Mungkin tidak. Di luar faktor-faktor ketidaksukaan terhadap pemerintah yang dipimpin oleh orang yang bukan pilihan mereka, pernyataan ini didasari oleh beragam penjelasan ilmiah. Penjelasan di luar hitung-hitungan matematis. Bukan semata 8.500-900 atau 6.500+1.100. Mereka bicara soal Ron 88 dan Ron 92. Mereka bicara soal Pertamina dan Petral. Mereka bicara soal untung-rugi pemerintah. Mereka bicara percaturan bisnis dan mafia minyak dunia di pasar Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika, dan Asia. Analisis luar biasa dan membikin ciut nyali mereka yang sehari-hari cuma menghabiskan waktu menonton acara musik pagi dan sinetron kejar tayang.

Tapi begitulah, dari sini, semakin terang fakta betapa orang-orang di negeri terkasih ini begitu betah memelihara dirinya dengan pikiran yang serba ruwet dan njelimet. Selalu berpikir besar dalam angan namun nol besar dalam tindakan. Menakjubkan dalam berkomentar tapi nyungsep dalam praktik.

Kenapa tak mau berpikiran sederhana saja? Ah, kesederhanaan tak menjadi pilihan lantaran tidak terkesan keren. Padahal seringkali, hal-hal besar justru berangkat dari kesederhanaan. Setelah melakukan pencarian yang gila-gilaan, Ernest Hemingway, mencapai puncak dari segenap kebesarannya di dunia sastra lewat novel pendek yang sederhana, “The Old Man and The Sea“. Pula begitu Eric Clapton. Ia menciptakan banyak komposisi blues, rock, dan pop, bertema cinta. Namun “kependekarannya dalam dunia cinta” diakui lewat lagu yang sama sekali tidak memamerkan kehebatan Clapton sebagai pencabik gitar, “Wonderful Tonight“. Satu kisah remeh-temeh perihal perjalanan sepasang kekasih ke jamuan makan malam yang memuncak pada salah satu rangkaian kata mutiara cinta abad ini: “I feel wonderful because i see the love light in your eyes.”

Jadi begitulah, kawan-kawan. Dunia semakin tua. Berhentilah berpikir ruwet dan njelimet dan menempatkan diri sebagai pencerca dan pengutuk, sebab itu bukan saja akan membuat Anda sekalian terlihat menyedihkan, tapi juga lebih jauh menjerumuskanmu ke dalam kelompok orang-orang yang tak beruntung. Dunia cuma tempat untuk numpang lewat. Namun Tuhan juga menciptakan persinggahan-persinggahan. Kalian bisa ngopi dan bercinta dan nonton bola. Alangkah sia-sianya jika kau isi hari-harimu yang serba singkat ini melulu dengan kemurungan dan kemarahan.

Dimuat rubrik Ngopi Sore
http://www.tribun-medan.com
Kamis, 1 Januari 2015

Negeri Sekonyong-konyong dan Konsistensi Kepandiran

INTERNET

INTERNET

BAGAIMANA kabar ngibul bisa mengemuka hingga seolah-olah jadi kabar benar? Sudah barang tentu, pertama, harus ada sumber kabar ngibulnya. Lalu ada tukang kibulnya, dan paling utama, mesti ada orang yang dapat dan bersedia dan atau bahkan gemar dikibuli. Kabar ngibul yang dibenarkan beramai-ramai, menurut teori ngibul, akan menjadi kebenaran.

Aksi perkibulan sesungguhnya bukan hal baru dalam sejarah peradaban manusia. Dua kali seisi dunia terlibat perang, juga berangkat dari kata-kata kibul. Di negeri ini, banyak orang naik ke puncak, atau sebaliknya, jatuh dari puncak, akibat keterlibatannya dalam konspirasi ngibul. Baik sebagai pelaku maupun korban. Namun memang, baru belakangan perilaku ini mencuat sebagai sesuatu yang (seakan-akan) lumrah dan terkaitpaut dengannya disambut keriangan gegap gempita.

Bukan itu saja, perkibulan-perkibulan ini, lantas menjelma jejaring, menjelma tentakel, menyebar luas, ditempatkan seolah-olah sebagai hal yang tiada perlu lagi disangsikan kesejatiannya. Tanpa ada sedikitpun upaya untuk mencari tahu, apakah kabar yang mengemuka memang kabar benar atau sekadar ngibul. Paling ironis, kegegabahan ini bukan semata-mata dikarenakan tingkat kecerdasan yang memprihatinkan atau keterbelakangan nalar, namun juga didorong oleh egoisme membatu akibat dendam politik.

Maka begitulah sekonyong-konyong ada yang dituding komunis, kafir, anak haram, antek kapitalis, jongos Israel dan Amerika Serikat, Illuminati, Freemason, dan lain sebagainya.

Tudingan (yang cenderung sudah mengarah pada vonis) juga berseliweran untuk perkara-perkara yang agak lebih elitis. Misalnya menyangkut ketegasan terhadap pelanggaran batas-batas wilayah laut, efisiensi kerja birokrasi dan imbauan hidup sederhana bagi PNS, wacana pengelolaan pulau-pulau tidak produktif oleh pihak asing, impor sektor nonmigas, tarik ulur Perppu tentang Pilkada Langsung, alih tangan aset negara, hingga yang paling anyar, langkah-langkah pemerintah dalam menekan kekuatan dolar, aturan-aturan dalam penerimaan pegawai di jajaran BUMN, dan penalangan pembayaran ganti rugi kepada rakyat sejumlah desa di Sidoardjo yang semestinya menjadi tanggung jawab PT Minarak Lapindo Brantas milik (sebagian besar saham) keluarga Bakrie.

Mari kita cermati satu persatu. Dolar, meski diakui, sekarang tengah meraja. Rupiah tertekan, mengalami depresiasi sebesar 4,5 persen. Tapi tak cuma rupiah. Setidaknya ada tujuh mata uang lain yang terkena dampaknya. Termasuk yuan, ringgit, yen, dan terparah adalah rubel. Mata uang Rusia ini mengalami depresiasi sebesar 48 persen.

Mengapa rupiah melemah? Satu di antara pemicu utamanya adalah meningkatnya kebutuhan terhadap dolar untuk pembayaran utang swasta yang rata-rata jatuh tempo pada Desember 2014. Berdasarkan data Bank Indonesia, besaran utang luar negeri Indonesia adalah 133,170 miliar dolar yang merupakan utang pemerintah dan bank sentral, plus  161,291 miliar dolar utang swasta. Faktor lain adalah pergerakan naik suku bunga The Fed yang mencapai 2,25 persen.

Pemerintah telah melakukan sejumlah langkah untuk meredam gejolak negatif ini. Ada sedikitnya delapan langkah teknis yang sudah dan akan dijalankan. Di antaranya, mengoptimalkan insentif kemudahan pajak (tax allowance) bagi kalangan industri untuk mendorong ekspor, serta kebijakan intervensi yang dilakukan Bank Indonesia di pasar modal, yakni dengan memborong (buy back) surat berharga negara.

Fakta-fakta, akar persoalan, dan solusi-solusi ini, sayangnya, sama sekali tidak jadi pertimbangan. Ia diabaikan. Yang lebih banyak hadir adalah panggung entertainment: keluhan presiden terdahulu, celoteh pesohor yang tak berilmu, dan kritik-kritik pedas pangeran dari rezim masa lalu yang akhir-akhir ini memang gentayangan lagi tanpa malu-malu. Sasaran tembak, siapa lagi jika bukan Jokowi.

Lalu sekonyong-konyong lahir kehebohan perihal kebijakan Menteri BUMN, Rini Suwandi. Menteri satu ini sejak awal mula pengangkatannya, sebagaimana Susi Pudjiastuti, sudah meletupkan kontroversi. Jika Susi lebih kepada level pendidikan, perilaku, gestur, dan penampilan fisiknya, gelombang bullying terhadap Rini lebih disebabkan dua hal. Pertama kedekatannya dengan Megawati Soekarnoputri. Serta track record-nya yang dinilai buruk saat menjabat menteri di era kepemimpinan Megawati. Dan entah bagaimana awal mulanya, Rini, dituding liberal, sekuler, dan -pada puncaknya- anti Islam.

Kesekonyong-konyongan ini beranjak jadi kehebohan massal setelah seorang pengguna Twitter, mengunggah foto setengah lembar kertas. Di sana ditulis “Kriteria Rekruitment BUMN yang Diskirminatif”. Termaktub antara lain larangan untuk tidak mengenakan jilbab panjang (jilbab sebatas leher), tidak berjanggut, tidak memakai celana panjang di atas mata kaki (tidak menggantung). Ketiganya, jelas, erat berkaitan dengan identitas pemeluk Islam, dan khusus poin “jilbab”, secara khusus mendapat perhatian.

Pertanyaannya adalah, apakah benar aturan-aturan ini merupakan kebijakan yang diterapkan untuk seluruh calon pegawai BUMN? Atau lebih jauh, apakah betul ini memang aturan yang dikeluarkan oleh pihak kementerian BUMN, atau jangan-jangan pihak lain yang tak berhubungan dengan pemerintahan?

Telaah tidak dilakukan. Untuk kali kesekian yang diapungkan adalah asumsi, adalah kesimpulan, yang dikerucutkan dengan pandir berdasarkan emosi dan dugaan dan “ngelmu” kira-kira.

Sasaran tembak kali ini bukan cuma Jokowi. Tapi juga Rini dan Susi yang tak tahu apa-apa. Berawal dari portal online memang memang telah menorehkan reputasi menakjubkan sebagai biang gosip nomor wahid di negeri ini, postingan di laman ini dilansir pula oleh media-media online yang secara resmi berada di trek jurnalistik. Memuatnya begitu saja tanpa konfirmasi. Di berbagai laman sosial (selain Twitter juga di Facebook dan Path), para pandir dengan nada mencemooh bertanya: “Jilbab nggak boleh, ya, bu? Merokok dan bertato boleh?”

Tapi kepandiran ini belum seberapa. Lebih konyol (sekaligus teramat sangat parah dan mengenaskan), pun setelah pemilik akun Twitter tersebut (seorang perempuan berprofesi psikolog dan disebut-sebut caleg gagal) memberikan penjelasan panjang lebar: bahwa setengah lembar kertas yang ia upload, memang bukan merupakan kebijakan baru dari Kementerian BUMN pimpinan Rini, melainkan form (catatan) untuk asesor (penilai) bagi calon pegawai satu kantor pemerintahan di bawah BUMN untuk posisi frontliner (dan ia, secara pribadi, menganggapnya diskriminatif), pem-bully-an terhadap Jokowi, Rini, dan Susi, terus saja berlangsung. Bahkan makin sengit, liar, dan membabibuta.

Akan halnya penalangan pembayaran ganti rugi, korban bullying selain Jokowi, adalah Wakil Presiden, Jusuf Kalla; Menteri PU dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono; Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa; bahkan Gubernur Jawa Timur, Soekarwo.

Mereka dikritik, dikecam, diolok-olok, lantaran dinilai bermufakat menghamburkan uang negara untuk membantu pihak Lapindo. Pemerintah dituding pro konglomerat. Pro kapitalis. Andaikata kaum pandir yang sepanjang 24 jam hidupnya terus memelihara benih dendam mau sedikit menggeser titik pandang, maka tentunya mereka akan melihat bahwa dana sebesar Rp 781 miliar dari APBN ini tak masuk ke kantor Bakrie (tidak Nirwan tidak juga Aburizal), tapi dialokasikan bagi ribuan warga yang sudah bertahun-tahun hidupnya sengsara oleh luapan lumpur itu. Mereka juga akan mendapati kenyataan bahwa kucuran dana talangan tersebut bukan cuma-cuma. Melainkan pinjaman berdurasi empat tahun. Jika tidak mampu mengembalikan, seluruh aset PT Lapindo akan jadi milik pemerintah.

Sayangnya kaum ini sudah kelewat asyik dengan laku-laku pembenaran mereka sendiri. Dendam harus terus dipelihara. Mungkin sampai 2019. Mungkin 2024 jika ternyata Jokowi terpilih lagi. Maka apa boleh buat. Kita pun hanya bisa menanti episode-episode pertunjukan kepandiran selanjutnya. Mudah-mudahan semakin lucu.

Dimuat di http://www.tribun-medan.com
Rubrik Ngopi Sore
Sabtu, 20 Desember 2014

Ruang Istirahat Pemerintah dan Harga Mahal Demokrasi

Saya menonton Bodyguard and Assassins (untuk kali kesekian) dan teringat pada satu kesimpulan menyangkut pemerintah, bertahun-tahun lalu. Kesimpulan yang -waktu itu- lahir melulu karena kekesalan akumulatif. Kekesalan yang pada akhirnya meledak setelah sekian lama ditahan-tahan.

Int

Int

DEMIKIANLAH saya masih ingat benar hari itu. Saya datang ke satu kantor pemerintahan untuk menemui seorang pejabat. Ia memesan jasa saya memotret aktivitas instansinya. Datang agak telat, kurang lebih 10 menit dari waktu yang dijanjikan, saya melangkah agak cemas. Takut Pak Pejabat menunggu. Jika ini terjadi, hemat saya, tentunya sungguh tak pantas. Setelah melewati sekumpulan petugas keamanan  dan receptionis yang hanya melempar anggukan kepala dan senyum, saya naik ke lantai tiga dan disambut sekretaris Pak Pejabat. Perempuan ini langsung meminta saya duduk di ruang tunggu seraya mengabarkan bahwa Pak Pejabat belum tiba di kantor. Saya mengangguk, melirik jam di dinding. Kurang lima menit dari pukul 10. Hmmm

Dari ruang tunggu itu (nyaman: luas, sejuk, wangi, berkursi empuk), saya melihat deretan orang berseragam -mereka disebut Pegawai Negeri Sipil- duduk di belakang meja-meja yang sama sekali tak menunjukkan “gejolak”. Warna coklat kusam. Layar komputer yang memampangkan permainan kartu. Tumpukan-tumpukan berkas. Alat-alat tulis. Gelas berisi teh atau kopi yang rata-rata tinggal separuh. Sebagian dari mereka membaca koran pagi. Sebagian yang lain duduk bergerombol dan mengobrol riuh. Tak seorang pun yang bekerja.

Kira-kira 45 menit berselang, sekretaris tadi datang membawa kabar bahwa Pak Pejabat tidak bisa menemui saya hari itu karena ada urusan mendadak. Saya tanya urusannya apa, sekretaris hanya mengangkat bahu, dan saya pun pulang dengan ingatan yang lekat sampai sekarang: satu bagian dari tubuh pemerintah yang berbentuk ruang peristirahatan. Ajaib! Dan saya -waktu itu- sangat percaya, bahwa apa yang saya lihat merupakan representasi dari pemerintahan negeri terkasih ini secara menyeluruh. Saya menaruh curiga yang besar. Jangan-jangan, pemerintahan ini sebenarnya fiktif belaka.

Benarkah demikian? Saya tidak tahu. Dan  jujur saja, saya tak habis mengerti. Secara ajaib, pemerintahan yang dijalankan dari ruang-ruang peristirahatan, tetap bisa membuat republik ini bertahan, tidak sampai “gulung tikar”. Atau, adakah hal lain yang diperlakukan sebagai rahasia? Adakah mereka (pemerintah dan mereka yang berada di ruang peristirahatan), misalnya, menerapkan sistem perkongkalikongan yang canggih? Sekali lagi, saya tak tahu.

Saya menonton Bodyguard and Assassins dan kembali teringat pada kesimpulan bertahun lalu itu. Film action drama yang disesaki adegan-adegan pertarungan wu xia serba tangkas dan memukau ini diakhiri kalimat Sun Yat Sen, pemimpin Revolusi China (Xinhai Geming): “pengorbanan sangat besar untuk pemerintahan yang bersih dan demokratis, janganlah disia-siakan dengan memelihara pikiran untuk berbuat curang dan menumpuk kekayaan pribadi.”

Kekuatan Dr Sun Yat Sen, yang oleh para pemimpin pergerakan China dipanggil Sun Man, saya kira, terdapat dalam dua hal. Pertama, tabah menghadapi kegagalan. Usahanya baru berhasil pada percobaan ke 17. Kedua, satunya kata dan tindakan. Sun Yat Sen rela hidup dibekap kesusahan. Bertahun-tahun dalam pelarian (dari Hongkong hingga Pulau Pinang, Malaysia) dengan nyawa yang tiap detik terancam. Bodyguard and Assassin (juga film lain bertajuk 1911), terlepas dari sejumlah “kegagalan” sinematografinya, menjadi gambaran sahih bagaimana Sun Yat Sen memang harus membayar mahal ide penolakan terhadap sistem monarki tersebut. Banyak darah dan air mata tumpah. Banyak nyawa melayang. Tak terkecuali orang-orang dekatnya.

Revolusi China dalam upaya mewujudkan demokrasi, setidaknya sampai sejauh ini, terus bergerak ke titik yang cemerlang. Tolak ukurnya adalah pemerintahan yang kian stabil serta lesatan pertumbuhan ekonomi mengagumkan. China dewasa ini bukan lagi negeri tirai bambu yang otokratik. Mereka adalah negara adidaya baru. Negara modern yang amat sangat diperhitungkan oleh barat. Merekalah Macan Asia yang sesungguhnya.

Bagaimana Indonesia? Apa boleh buat! Pascarevolusi 1945 dan 1965, plus gerakan reformasi 1998, yang terjadi adalah fluktuasi. Bahkan di beberapa bidang justru terus mengalami kemunduran. Kita terlalu disibukkan oleh silang sengkarut politik. Waktu habis untuk bertikai. China, juga negara-negara Amerika Latin macam Venezuela dan Bolivia, beranjak maju karena seluruh elemen negeri bersedia bersatu kata, berlapang datang untuk menyelaraskan tindakan. Indonesia tidak! Suara terbelah. Bahkan belakangan ini, tiap-tiap tindakan nyaris selalu berangkat dari pertimbangan dendam politik.

Celakanya, para pegawai pemerintah, justru banyak yang ikut terseret arus. Barangkali karena memandang apa yang dilakukan oleh pemerintahan sekarang, tidak akan banyak memberikan untung dan senang. Justru sebaliknya, akan menyeret dan mendepak mereka jauh-jauh dari ruang-ruang peristirahatan. Padahal mereka sudah terlanjur sangat menikmatinya.

Dimuat http://www.tribun-medan.com
Rubrik Ngopi Sore
Minggu, 14 Desember 2014

Pelajaran Hidup dari Lapangan Bola

My first journey into real life was the discovery of football.”

AFP PHOTO | FILIPPO MONTEFORTE PEMAIN AS Roma, Radja Nainggolan, tak percaya klubnya gagal lolos ke fase knock out Liga Champions pascaditekuk Manchester City 0-2 di Olympico, Roma.

AFP PHOTO | FILIPPO MONTEFORTE
PEMAIN AS Roma, Radja Nainggolan, tak percaya klubnya gagal lolos ke fase knock out Liga Champions pascaditekuk Manchester City 0-2 di Olympico, Roma.

SUATU hari pada September yang riuh di Barcelona, Spanyol, 1969, sekitar satu setengah tahun setelah menulis One Hundred Years of Solitude, Gabriel Garcia Marquez melakoni wawancara pertamanya dengan media lokal. Ia berbicara banyak hal. Perihal dunia kewartawanan (Marquez pernah menjadi kolumnis untuk surat kabar Kolombia dan Venezuela), kesusastraaan, dan kehidupan. Di antaranya, Marquez, mengoceh soal sepakbola.

“Saya sudah pergi ke banyak tempat dan menjalani berbagai macam manis dan pahitnya hidup. Dan langkah pertama saya ke kehidupan itu, saya mulai setelah saya menemukan sepakbola. Saya menemukan apa yang saya cari, kehidupan, ada di sana.”

Sepakbola, menurut Marquez, adalah representasi dari kehidupan. Ada drama di sana. Ada retak garis nasib. Ada tawa dan ada tangis. Ada kontradiksi yang mencekam, yang menggelikan, yang menyesakkan, yang menghadirkan kebahagiaan.

“Dan yang menakjubkan adalah, semua ini, hal-hal yang bisa menjadi cerita seumur hidupmu, kawan, terwujud hanya dalam waktu paling lama dua setengah jam.”

Tiga dekade kemudian, di kota yang sama, dua pelatih yang termasuk ke dalam jajaran paling cemerlang di kolong jagat, Sir Alex Ferguson dan Ottmar Hitzfield, menguatkan kalimat Marquez. Final Liga Champions Eropa. Bayern Muenchen masih unggul 1-0 hingga pertandingan mencapai menit ke 90 dan wasit Pierluigi Collina memberikan waktu tambahan tiga menit. Muenchen terlampau kuat. Pertahanan mereka terlalu solid untuk ditembus. Seluruh suporter Manchester United sudah pasrah. Tapi kemudian, hanya dalam 112 detik, mereka bisa berbalik unggul 2-1.

I can’t believe it. I can’t believe it. Football. Bloody hell. This is the power of true human spirit,” kata Sir Alex.

It could take days, even weeks, to recover from such a blow. Losing in such a way is very tragic. It is inconceivable what has happened tonight. But congrotulation to United. They incredible,” sebut Hitzfield.

Siapa yang menyangka pertandingan akan berkesudahan demikian? Bahkan Collina pun tidak percaya. Dalam outobiografinya, The Rules of The Game, wasit berkepala plontos nan legendaris ini menyebut, ia nyaris tak percaya, dan terlambat meniup pluit, manakala Ole Gunnar Solksjaer menjebol gawang Oliver Kahn di menit 92:47.

“Saya melihat Kahn, melihat (Samuel) Kuffour, dan (Mehmet) Scholl duduk bersandar di tiang gawang. Mereka menangis. Saya tidak pernah melihat yang seperti ini sepanjang karier saya. Untuk sesaat, saya terpana dan tak bisa berbuat apa-apa selain memandang mereka.”

Inilah perwujudan dari keajaiban sepakbola. Keajaiban yang membuatnya menjadi representasi dari kehidupan. Tidak seorang pun di antara kita yang dapat mengetahui secara persis apa yang akan terjadi, bahkan dalam sedetik ke depan. Manusia cuma berencana, cuma memprediksi mengira-ngira, hasil tetap merupakan hak prerogatif Tuhan. Rencana serapi apapun, prediksi secanggih apapun, bisa dengan mudah terjungkirbalikkan. Kecenderungan yang melahirkan premis bola itu bundar.

Dua hari ini, kesahihan kebulatan bola kembali terjadi. Hari pertama, Rabu dinihari, Liverpool terkapar di rumah sendiri. Mereka gagal lolos ke fase knockout Liga Champions 2014-2015, pascagagal menekuk FC Basel. Sehari berselang, nasib lebih naas dialami AS Roma. Cuma butuh hasil imbang, mereka malah dipecundangi Manchester City 0-2. Padahal tamu datang dengan kekuatan timpang. Empat pemain pilar harus menepi karena cedera.

Steven Gerrard tertunduk sedih. Para Liverpuldian merasakan hal serupa. Mereka terbakar, memendam kedongkolan, setelah nun dari Basel, kota ketiga terbesar di Swiss, suporter-suporter klub ini mengunggah sejumlah hasil rekayasa photoshop yang menggambarkan keberhasilan mereka menyingkirkan Liverpool.

Padahal mereka sudah berhitung cermat sekali. Brendan Rodgers sengaja tak ngotot pada laga keempat versus Real Madrid di Santiago Bernabeau. Ia memperkirakan, Liverpool bisa tetap lolos sebagai runner up. Ia memperkirakan, Liverpool bisa menekuk Ludogorets Razgrad dan Basel. Perkiraannya terjungkirbalikkan. Pun demikian hitung-hitungan Rudi Garcia, pelatih AS Roma. “Kami melakukan kesalahan. Kami akan memperbaikinya, mungkin di musim depan,” sebutnya.

Yeah…, kekalahan tidak selamanya berarti terhinakan. Mungkin ia memang kemenangan yang tertunda. Kekalahan mendorong orang untuk belajar menjadi lebih baik. Seperti kata Ruud Gullit. “Football is about learning too. You only stop learning when you quit.”(*)

Dimuat http://www.tribun-medan.com
Rubrik Ngopi Sore
Kamis, 11 Desember 2014

Demokrasi dan Hal-hal yang Jenaka

Democracy is nothing more than mob rule, where fifty one percen of the people may take away the rights of the other fourty nine. Ini pandangan Thomas Jefferson. Lain lagi Mahatma Gandhi. Menurutnya, The spirit of democracy is not a mechanical thing to be adjusted by abolition of forms. It requires change of heart.

Int

Int

TAPI di Indonesia, terutama belakangan ini, demokrasi justru lebih banyak menghadirkan hal-hal yang jenaka. Padahal harga yang dibayarkan untuk demokrasi ini sama sekali tak murah: airmata dan darah.

Dan kejenakaan-kejenakaan dalam berdemokrasi ini terjadi hanya gara-gara Pemilu Presiden 2014. Padahal Joko Widodo dan HM Jusuf Kalla telah sah ditetapkan, dilantik, dan bekerja sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2014-2019. Tapi begitulah. Sentimen ketidakpuasan, ternyata, tetap saja mencuat di berbagai lini kehidupan di negeri terkasih ini. Di alam maya maupun alam nyata.

Indonesia pun secara menyedihkan terbelah jadi dua. Indonesia Jokowi versus Indonesia Prabowo. Orang-orang yang -meminjam istilah anak muda sekarang- gagal move on. Mereka inilah yang saban hari, saban jam saban menit nyaris tiap detik, terlibat dalam debat- debat yang sengit. Gontok-gontokan terjadi di mana-mana. Dari Facebook sampai gelaran kawinan, dari Twitter hingga acara takziah dan tahlilan.

Ada yang merasa diri sebagai pengamat serta tahu dan serba betul. Di luar pendapatnya dan pendapat orang-orang sekelompoknya, adalah kekeliruan-kekeliruan terbesar dalam sejarah umat manusia. Ada yang berperan sebagai the massanger. Sang penyampai. Tentu saja, apa yang disampaikan oleh orang-orang ini bukanlah wahyu, melainkan tautan-tautan berita dan opini yang isinya memojokkan “pihak lawan”. Ada pula yang secara sadar mengambil posisi sekadar sebagai suporter yang nyinyir menyuarakan pembenaran dari kacapandangnya sendiri, yang secara konsisten dan berkesinambungan dilakukan dengan membabibuta, tak peduli seberapapun naif dan dungunya ia terkesan lantaran laku itu.

Salah satu kejenakaan bisa didapati pada serial-serial bullying terhadap Jokowi dan JK. Baik sebagai presiden dan wakil presiden, maupun sebagai pribadi. Orang-orang di sekeliling mereka, termasuk menteri-menteri di kabinet kerja, juga tak luput dari serangan. Mulai dari Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Hamonangan Laoly (pembebasan bersyarat Polycarpus Budihari Priyanto); Menteri PAN, Yudi Chrisnandi (peraturan-peraturan sehubungan dengan PNS dan birokrasi negara); sampai Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti (kebijakan penenggalaman kapal-kapal nelayan asing dan wacana sewa pulau).

Tentu saja, serangan demi serangan ini tetap saja dikait-kaitkan dengan Jokowi dan JK. Begitu banyak dan beragamnya bullying ini, hingga jika dideretkan, panjangnya barangkali akan menyaingi serial Tukang Bubur Naik Haji atau Catatan Hati Seorang Istri.

Paling anyar adalah soal penghentian penggunaan kurikulum 2013 dan pengembalian ke kurikulum 2006, serta doa bagi siswa di sekolah. Kali ini, Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menangah, Anies Baswedan, yang dapat giliran. Perihal kurikulum, ia dikecam tidak cermat dan tidak peka. Berapa banyak lagi biaya yang harus dikeluarkan oleh para orang tua? Apakah Pak Menteri tidak berhitung soal kekacauan sistem yang bakal terjadi? Dan seperti sudah menjadi kelaziman, para pengecam dan pihak yang gagah berani berdiri di belakang Jokowi-JK, saling beradu pendapat.

Tapi paling celaka menyangkut doa di sekolah. Ia dituding anti Islam! Tak tanggung-tanggung, kecaman terhadap dirinya datang dari sejumlah pemuka agama. Termasuk yang populer semacam Ustad Yusuf Mansyur.

Berbeda dibanding pasukan haters pemerintah, Ustad Yusuf, meski sempat berang, berupaya mengklarifikasi benar-tidaknya rencana penerapan kebijakan tersebut. Ia berkomunikasi langsung dengan Anies Baswedan. Dan hasilnya? Tiada lebih dari kekeliruan cara pandang, kesalahan interpretasi dari media yang pertama kali menyebarkan rencana itu, yang kemudian  disantap bulat-bulat oleh pembacanya tanpa telaah lebih dalam. Ustad Yusuf pun secara terbuka menyampaikan penjelasan terkaitpaut kesalahpahaman ini.

Namun sebagaimana perang-perang sengit tentang segala hal terkaitpaut Jokowi dan JK, baik penjelasan Ustad Yusuf maupun Anies, tak lantas meredakan silang-sengkarut debat. Para pengecam dan para pembela, tetap dan terus mempertontonkan kedegilan yang kian menunjukkan kejenakaan mereka. Tapi tentu saja, kejenakaan demokrasi yang mereka pampangkan berbeda levelnya dibanding apa yang disampaikan Chris Rock, komedian Amerika, dalam video pendeknya yang terkenal, The Hypocrisy of our Democracy.

I’m just quoting it. But when I wake up to a story like this, you can’t help but want to say, “hmmmm”

Dimuat http://www.tribun-medan.com
Rubrik Ngopi Sore
Rabu, 10 Desember 2014

Kenapa Negeri Kita Dijajah Kompeni 350 Tahun

Saat iseng berselancar di jagat maya dan entah bagaimana kesasar di youtube, tiba-tiba saya sudah terpelanting ke era awal 1990 an. Era di mana di televisi nasional, satu-satunya waktu itu, suka memutar film-film yang dibintangi Dicky Zulkarnaen. Terutama sekali serial Si Pitung.

INT POSTER Film Si Pitung Banteng Betawi

INT
POSTER Film Si Pitung Banteng Betawi

SETIDAKNYA ada tiga serial Si Pitung yang saya tonton. Dua mengisahkan Si Pitung, dan satu terkaitpaut dengan sahabatnya, Ji’ih. Paling mengenaskan adalah seri kedua, Si Pitung Banteng Betawi. Di sini Pitung, maling budiman, menemui ajal setelah ditembak kompeni dengan peluru emas. Ia dikhianati Somad, saudara seperguruannya. Somad mencuri baca-bacaan Si Pitung, tersimpan dalam sebuah “dompet kecil”, saat pendekar pilih tanding itu mandi di sungai.

Pengkhianatan! Demikianlah perilaku ini terus dan terus-menerus terulang sejak kompeni pertama kali masuk ke wilayah nusantara. Mula-mula mereka cuma datang satu kapal. Bukan bala tentara, melainkan sekadar pedagang dan petualang. Sungguh bukan tandingan bagi pendekar-pendekar yang bisa berlari selekas angin dengan kulit serba atos tak mempan senjata tajam. Peluru? Hanya akan menghadirkan rasa gatal seperti digigit nyamuk.

Tapi kompeni bisa masuk, bisa menguasai, bisa menjajah, bahkan sampai 350 tahun kemudian. Padahal mereka bukan penakluk yang hebat. Kompeni tak sebanding dengan bangsa Yunani, Persia, Viking, Mongol, Portugis, atau Inggris. Balatentara mereka tidak buas-buas amat. Perkakas perang mereka juga tidak terlalu canggih (untuk ukuran masa itu). Semestinya, jika bercermin dari betapa luar biasanya kedigdayaan kanuragan para pendekar di negeri ini, kompeni sama sekali tak punya peluang untuk masuk. Masalahnya adalah, mereka tidak memaksa masuk. Mereka melenggang karena pintu bagi mereka dibukakan lebar-lebar.

Kematian Si Pitung hanya satu dari begitu banyak perilaku sejenis. Somad iri pada Pitung yang dilebih disayang oleh guru mereka, Haji Naipin. Somad juga menyukai Aisyah, perempuan cantik yang ternyata juga lebih menyambut api cinta Pitung. Maka ia pun memelihara benih dendam. Pada puncaknya, Somad memilih membantu kompeni. Prinsipnya, “musuhmu musuhku juga”. Pitung harus mati. Somad tak peduli jika itu membuat kompeni menguasai tanah Betawi.

Ironisnya, perilaku memilukan ini, ternyata, tetap terpelihara sampai sekarang. Dendam politik, dendam pemilihan umum presiden, membuat sebagian besar rakyat negeri terkasih ini gelap mata, memandang dengan kacamata kuda. Hanya satu sisi, yakni sisi negatif. Pendek kata, apapun yang dilakukan Joko Widodo, Presiden RI, adalah kesalahan terbesar dalam sejarah umat manusia.

Apakah Jokowi selalu benar? Sudah tentu tidak. Jokowi bukan nabi. Ia cuma manusia biasa yang kondratnya tidak lepas dari salah dan lupa. Sebaliknya, apakah dia selalu salah? Terang tidak. Ada sejumlah kebijakan Jokowi yang tidak bijak, menyedihkan, dan menjengkelkan.

Namun alangkah menyedihkannya apabila dendam politik dan dendam pemilu menjerumuskan kita kepada prinsip “musuhmu musuhku juga”. Celakanya, justru ini yang sedang terjadi. Kita tahu, hubungan Indonesia dengan Malaysia sekarang sedang memanas. Jokowi melontarkan pernyataan akan menenggelamkan kapal-kapal ikan Malaysia yang melanggar batas perairan. Pernyataan ini, rupa-rupanya, tak sekadar gertak. Jokowi memerintahkan TNI Angkatan Laut untuk memarkir kapal-kapal tempur di batas-batas wilayah Indonesia yang sering dimasuki secara ilegal oleh kapal Malaysia. Akibatnya, produksi ikan Malaysia menurun. Mereka tak lagi mengimpor ikan ke Singapura, Thailand, dan Filipina.

Malaysia pun kelimpungan. Mereka yang awalnya memuji-muji Jokowi sebagai The New Hope, kini balik menyerang. Sejumlah media di Malaysia, dalam headline mereka, terang-terangan menyebut Jokowi sebagai “Presiden Kurang Ajar”. Ada juga yang mengejeknya sebagai antek Amerika dan kapitalisme.

Prinsip “musuhmu musuhku juga”, membuat kelompok-kelompok Jokowi Haters dan Prabowo Lovers, ikut-ikutan menyerang. Mereka mendukung dengan segenap jiwa raga cercaan Malaysia. Bahkan menambahkannya hingga jadi jauh lebih dahsyat. Mereka seakan hendak mengatakan,” begini, lho, cara mencela yang baik dan benar itu. Yeah… Seperti Somad, barangkali, bagi mereka, terpenting Jokowi harus “mati”. Peduli setan negeri ini diludahi dan diberaki.(*)

Dimuat http://www.tribun-medan.com
Kolom Ngopi Sore
Minggu, 30 November 2014

Lionel Messi ke PSMS

Seorang kawan menuliskan di dinding akun Facebook miliknya, bahwa Lionel Messi akan segera pindah dari Barcelona ke PSMS Medan. Sudah tentu ini cuma lelucon. Bahkan boleh dibilang, “kadar melucunya” sudah kelewatan.

AFP PHOTO/ SAKIS SAVVIDES LIONEL Messi

AFP PHOTO/ SAKIS SAVVIDES
LIONEL Messi

BAHWA Lionel Messi hengkang dari Camp Nou, klub yang telah ia bela sejak masih bocah, bukanlah hal mustahil. Media-media di Spanyol, juga Inggris, Italia dan Jerman, dalam dua hari terakhir, memuat rumor ini. Messi disebut-sebut tak betah lagi di Barcelona dan manajernya tengah membuka pembicaraan dengan tiga klub elite English Premier League.

Ketiga klub ini belum jelas identitasnya. Mungkin Manchester United. Mungkin Chelsea. Mungkin pula Manchester City. Namun, pasti, tidak mungkin ia merapat ke Kebun Bunga, kandang klub yang sedang berupaya bangkit dari keterpurukan berkepanjangan, PSMS Medan.

Lelucon jadi bertambah lucu, karena ternyata, banyak yang meresponnya secara serius. Mereka menuding Messi dungu lantaran mau pindah ke PSMS. Ada juga yang menghujat PSMS. Menyebut manajemen klub berjuluk Ayam Kinantan ini tidak berperikemanusiaan: merekrut Messi yang harganya setinggi langit bisa, tapi membayar gaji pemain yang tertunggak berbulan- bulan tak bisa.

Hahaha… Saya memang gagal menahan diri untuk tak tertawa. Namun jika dicermati lebih jauh, respon terhadap lelucon Messi dan PSMS ini, sebenarnya wajar. Sebab secara umum, inilah tipikal sebagian besar pengguna sosial media di Indonesia. Reaktif tak menentu dan terburu-buru, emosional tanpa rujukan, cenderung memandang segala sesuatunya dari kacamata serba negatif dan merasa bangga karenanya.

Beruntung, kawan yang melontarkan lelucon tidak memiliki maksud di luar untuk melucu -meski sehari-hari ia sekadar penggemar sepakbola, bukan pelawak. Ia bukanlah  semacam agen media sosial, bukan buzzer, yakni orang-orang yang terlibat kesepakatan sewa jasa dengan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu. Ia bukan pelontar isu, bukan pengacau dan penjungkirbalik isu, bukan penggiring opini. Sekali lagi, ia hanya ingin melucu.

Tapi begitulah, lantaran sudah terlalu sering dicekoki oleh lelucon yang diserius-seriuskan hingga karenanya jadi murahan dan tak bermutu, terutama di bidang politik dengan latar belakang dendam Pemilu Presiden, masyarakat pengguna sosial media jadi kehilangan selera humornya. Kemarahan begitu cepat tersulut. Di antara pengamat-pengamat serba tahu berseliweran para pencibir dan penggerutu. Selama 24 jam penuh, tiada hal sehalus butiran debu pun yang luput dari mereka.

Tatkala apa yang disikapi dengan reaksi hiperbolik ini kemudian ternyata tidak benar, tidak pernah ada penyesalan atau kata maaf. Atau setidak-tidaknya mengakui kekeliruan. Sebaliknya yang mengemuka justru upaya-upaya pembenaran.

Tentu saja tidak semua isu yang dipapar oleh para agen dan buzzer ini merupakan lelucon. Banyak juga yang didasari fakta. Misalnya, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), penunjukan jaksa agung dari kalangan partai politik, silang sengkarut perkara undangan terhadap menteri oleh DPR RI,  serta kebijakan luar negeri Indonesia, khususnya kerjasama G-20 dan batas perairan, plus “rebut- rebutan” ikan dengan Malaysia.

Isu-isu ini sesungguhnya potensial menjadi bahan diskusi yang bagus dan mencerahkan. Namun tabiat tadi menggerus potensi, membuatnya anjlok ke titik kerendahan berpikir. Diskusi bergerak liar, lebih ke arah hujatan, yang pada akhirnya berkembang jadi debat kusir tak berkesudahan, karena kubu penghujat dan kubu (pihak yang merasa) dihujat, sama-sama memiliki argumentasi, memiliki keyakinan, memiliki filosofi, yang diyakini dengan teguh dan membabibuta.

Entah kapan segala kekonyolan ini berkesudahan. Barangkali ketika Lionel Messi benar-benar hengkang dari Barcelona, terbang ke Medan, lantas bermain untuk PSMS.(*)

Dimuat http://www.tribun-medan.com
Kolom Ngopi Sore
Sabtu, 29 November 2014