Menengok Komik Sebagai Sastra (Bukan) Pinggiran

JIKA ditanya perihal komik, apa yang terlintas dalam benak anda? Bagi yang berusia lebih dewasa, katakanlah antara 40 sampai dengan 60 tahun, jawaban yang mengemuka barangkali adalah kelebatan-kelebatan kisah dari karya-karya epik RA Kosasih semacam ‘Mahabharata’, ‘Bharatayudha’, hingga kisah-kisah setelah Parikesit diangkat menjadi raja. Atau kenangan akan ‘Si Buta dari Goa Hantu’, atau ‘Panji Tengkorak’, masterpiece dari dua komikus legendaris, Ganesh TH dan Hans Jaladara. Atau sangat boleh jadi kekaguman akan penjelahan pemikiran dan daya khayal Asmaraman S Khoo Ping Ho.

Sementara bagi yang datang dari kalangan berusia lebih muda, 25 hingga 40, mungkin yang terkedepankan adalah komik-komik dari Eropa, Amerika dan Jepang. Mungkin komik superhero semacam Superman, Batman&Robin, Spiderman, X Men, atau komik petualangan dan komedi fantasi seperti Tintin atau komik komedi fantasi seperti Smurf dan Asterix. Generasi pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an di Indonesia, tentu tak mungkin mengetepikan Lupus. Bagaimana jika pertanyaan itu diajukan pada mereka yang lahir di era 1990-an? Besar kemungkinan yang muncul adalah segala sesuatu yang berbau Manga (teknik menggambar komik dengan tarikan-tarikan garis sangat tajam), karakteristik paling menonjol dari komik-komik Jepang.

Sudahkah pertanyaan tadi terjawab? Mungkin sudah, apabila lingkup pertanyaannya sekedar persoalan selera. Jawaban-jawaban tadi memang tidak bisa dikatakan sudah memberikan gambaran perihal hakekat komik dan perkomikan secara menyeluruh. Sebab faktor yang dominan melulu like and dis like, suka tidak suka. Generasi tua suka pada komik wayang atau silat, sementara generasi muda menyukai komik yang lebih menggambarkan kecanggihan dan daya khayal gila-gilaan. Padahal di sisi lain, komik sesungguhnya memiliki berbagai macam aspek yang apabila ditilik juga memerlukan telaah yang sama rumitnya dengan sastra-sastra lain yang dianggap berat.

Begitulah, selama ini komik cenderung diletakkan pada kasta sastra pinggiran. Komik memang tidak diketepikan sebagai bentuk karya sastra, namun sekali lagi, ia tidak berada sejajar dengan karya-karya lain. Lebih gawat lagi, cukup banyak pula yang menganggap komik sekedar sebagai bacaan hiburan, untuk mengisi waktu senggang. Komik adalah bacaan santai. Kelirukah perspektif ini? Mungkin tidak.

Tapi mungkin juga keliru. Pasalnya, memang ada sebagian komik yang benar-benar mengedepankan hal-hal yang sama sekali tidak bersifat serius. Komik seperti ini bobotnya seringan kerupuk, hingga bisa dibaca sambil tiduran, sambil mengunyah cemilan dan dengan kuping disumbat headphone darimana mengalun lagu-lagu rap jenaka ala Kungpow Chicken. Dengan kata lain, memang tidak perlu persiapan mental untuk membacanya.

Sampai di sini, muncul pertanyaan lain. Adakah komik yang saat kita akan membacanya dibutuhkan persiapan mental – seperti, misalnya, ketika kita akan membaca karya-karya sastra sufistik Danarto di era pertengahan 1980-an yang serba mengejutkan itu? Jawabannya, ada. Memang diperlukan satu persiapan mental, atau paling tidak anggapan untuk tidak terlanjur menganggap karya itu sebagai karya yang remeh-temeh, saat kita akan membaca sebuah novel grafis.

Novel grafis? Ya, ini genre komik sastra.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya sudah tentu, apa yang membedakan novel grafis sebagai komik sastra dengan komik lain pada umumnya? Jawaban prematur terhadap pertanyaan ini mungkin bisa ditemukan dalam ‘The Lone Wolf and Cub’. Komik setebal lebih kurang 300 halaman dan terdiri dari 9 seri ini berkisah tentang petualangan Ogami Itto, seorang pendekar Samurai yang mencari pembenaran (atas fitnah terhadap dirinya) ke seluruh negeri sambil membopong puteranya yang masih berusia 3 tahun. Membaca tiap lembarnya, akan terasa seperti sedang membaca kisah Miyamoto Musashi yang divisualkan.

The Lone Wolf and Cub, karya Kazuo Kioke dan Goseki Kojima, secara wantah memang berbentuk komik, tapi ada ambisi sastrawi di dalamnya. Ada perlakuan yang revolusioner, terutama dalam hal penceritaan. Tema yang ditujukan untuk pembaca dewasa memeng menjadi salah satu ciri novel grafis. Selain itu, biasanya novel grafis memiliki garis cerita yang lebih panjang dan kompleks – meski ciri yang terakhir ini bukanlah merupakan suatu batasan yang kaku.

Perbedaan lain tentu saja dari sisi grafisnya sendiri. Karakteristik grafis dalam genre ini, meski seringkali tak semenarik Manga, sangat kuat – yang makin terasa nyata oleh pilihan warna minimalis. Kebanyakan novel grafis tampil hitam putih, atau sephia. Pendek kata, novel grafis memang karya (sastra) yang dikedepankan tidak dengan mengandalkan bahasa grafis semata-mata.

Art Spiegelman, komikus pencipta Maus I dan Maus II, menyatakan dengan novel grafis penceritaan akan terjewantah dengan lebih mengasyikkan dan penuh kehormatan. Novel adalah kata yang terhormat di dunia sastra, pun begitu dengan grafis. Kesimpulannya, kata Spiegelman, lewat sebuah novel grafis penciptanya akan mendapatkan dua kehormatan sekaligus.

Membaca tiga seri Persepolis karya Marjane Satpari, Maus-nya Spiegelman, Sandman dari Neil Graham sampai karya lama Will Eisner, komikus yang dianggap sebagai The Godfather novel grafis (A Contract With God, 1978), pembaca akan dibawa ke dalam sebuah sensasi yang jelas tak akan pernah dapat ditemukan saat membaca Dragon Ball atau Crayon Shincan.

Dengan grafis yang sebenarnya sangat sederhana, Marjane Satrapi dalam Persepolis mengetengahkan memoir yang sungguh-sungguh mengharukan, menggetarkan, sekaligus menjadi sebuah pembelajaran perihal kondisi sejati dari keseharian masyarakat (terutama kaum perempuan) di Iran semasa revolusi Islam. Sementara Maus, dengan canggih tapi wajar, merekonstruksi kisah-kisah (perpaduan fiksi dan non-fiksi) yang terjadi pada perang dunia II, termasuk dalam hal ini kisah orangtua Art Spiegelman sendiri.

Novel Grafis Indonesia

Jika komikus luar negeri mampu menghasilkan novel-novel grafis yang demikian menakjubkan, bagaimana dengan komikus negeri sendiri? Di sinilah yang menarik. Setidaknya terdapat dua temuan. Pertama, bahwa ternyata sebelum Eisner menerbitkan A Contract With God yang dianggap sebagai tonggak novel grafis barat (antara lain dengan menempatkan kata ‘A Grapic Novel’ di sampulnya), komikus Indonesia sudah mendahuluinya pada tahun 1971 (Teguh Santosa, lewat Mat Romeo, bagian pertama dari trilogi Sandhora). Sedangkan temuan kedua, adalah fakta bahwa Novel Grafis Indonesia ternyata tidak saja ada, tapi malah cukup banyak jumlahnya.

Hingga awal tahun 2007, terbit tak kurang dari 30-an judul. Ini belum termasuk karya-karya yang terbit underground dalam bentuk stensilan dan fotokopi. Yang lebih membanggakan, kuantitas novel-novel grafis ini berbanding lurus dengan kualitasnya. Untuk menyebutkan beberapa saja ada Selamat Pagi Urbaz (Beng Rahadian), serial Gibug (Wahjoe Lee), Jakarta 2039 (Seno Gumira Ajidarma), Tomat (Rahmat Riyadi), Rampokan Jawa (Peter van Dongen) dan Tekyan. Yang disebutkan di awal dan di akhir daftar singkat ini, sama-sama berkisah tentang kehidupan masyakarat pinggiran Jakarta.

Selamat Pagi Urbaz memamerkan dengan mewah berbagai kemunafikan yang terjadi sehari-hari di dekat-dekat kita. Ironisitas-ironisitas yang bisa membuat kita bergidik. Sementara Tekyan mengisahkan tentang seorang anak jalanan yang mencoba bertahan hidup di tengah hagemoni sosial politik yang terjadi di tahun 1997-1998.

Cukup luar biasa. Terlebih-lebih jika mencermati keberadaan komik-komik underground karya para seniman grafis “berani mati” asal Jogja, Bandung, dan Denpasar. Mereka nekat menggelar tikar, menggambar sambil geletakan di atas kertas A4 dengan peralatan sekedar lantas menerbitkannya dalam bentuk stensilan, atau bahkan fotokopi, sebagai bentuk perlawanan terhadap kemapanan komik-komik komersil yang begitu diagungkan rezim-rezim penerbit dan kemudian bertebaran di QB World Book, Gramedia, atau Gunung Agung se-Indonesia. Mereka memperlakukan komik bukan semata-mata untuk mengejar keuntungan, melainkan lebih sebagai media untuk menyampaikan ide, ekspresi atau pendapat mereka kepada khalayak (para pembaca komik).

Dunia komik bukan dunia yang steril dari pengaruh lingkungan di sekitarnya, sehingga komik tidak bisa menutup diri dari situasi sosial, politik, ekonomi atau gerakan besar kebudayaan.

Maka lahirlah jurnal komik independent (fotokopian) semacam Daging Tumbuh yang terbit di Jogja. Pengakuan terhadap kualitas komik fotokopian ini setidaknya bisa dibuktikan dari keputusan Harian Koran Tempo yang untuk beberapa lama sempat “menjadikan” grafis-grafis di dalamnya sebagai ilustrasi cerita-cerita pendek dan esai mereka.

Selain Daging Tumbuh, dari Jogja juga muncul komik-komik sederhana namun cerdas keluaran kubu Petak Umpet Komik, Kirikomik, Aliansi Komik Independen, Core Comic, Pure Black Comic, dan Apotik Komik. Satu di antara karya Kirikomik yang cukup memesona berjudul Ayam Majapahit. Sedangkan Aliansi Komik Independen kini benar-benar melebarkan sayapnya ke dunia sastra. Terakhir mereka mengadaptasi Wek, naskah drama Emha Ainun Nadjib.

Di Bandung Molotov Indie Komik, Majik dan QN (Qomik Nasional) masih terus mengeluarkan karya-karya anyar. Di Denpasar, dengan bertahan pada jalur humor idealis (yang menyindir berbagai perilaku hedonis di Bali), komik BogBog –yang juga memiliki jargon menggelitik: don’t say ‘bog’ (bahasa tradisional masyarakat Bali, artinya: bohong) twice, cause it’s mine bullsitch– makin lama makin memiliki banyak penggemar.

Tinggalkan komentar