Menghapus Gelar Menyakitkan

  • Belanda vs Argentina

Belanda datang ke Jerman di tahun 1974 dengan status sebagai favorit juara. Perkaranya adalah Ajax Amsterdam, Feyenoord Rotterdam, dan Rinus Michels.

 

AFP PHOTO | FILES | MARTIN BERNETTI | NELSON ALMEIDA ARJEN Robben dan Lionel Messi

AFP PHOTO | FILES | MARTIN BERNETTI | NELSON ALMEIDA
ARJEN Robben dan Lionel Messi

SECARA beruntun selama tiga musim sejak 1971, Ajax merajai panggung sepakbola Eropa paling gemerlap, European Champions Cup. Panatinaikos, Inter Milan, dan Juventus, coba mengadang, tapi tak berdaya. Sedangkan Feyenoord, pada 21 Mei 1974, menekuk Tottenham Hotspur 4-2 untuk merengkuh tropi UEFA Cup. Ajax dan Feyenoord menerapkan filosofi bola yang sama, filosofi yang dilahirkan seorang master bernama Rinus Michels, Totaal Voetbal.

Tiga kekuatan ini menyatu di tubuh De Oranje. Michels memimpin pasukan Belanda yang separuhnya berisi penggawa-penggawa Ajax dan Feyenoord, plus talenta berkelas dari PSV Eindhoven, dua bersaudara van de Kerkhof, Willy dan Rene. Pasukan ini dipimpin seniman bola yang diterbangkan dari Barcelona, Johan Cruyff. Siapa yang tak gentar dengan kekuatan ini? Bahkan Jerman (Barat), sang tuan rumah yang memiliki jenderal brillian, Franz Beckenbeauer, memilih untuk tidak sesumbar.

Tapi begitulah, setelah melewati enam laga yang sangat meyakinkan (hanya sekali tertahan 0-0  oleh Swedia yang memainkan strategi beton di babak penyisihan grup), Belanda ditekuk Jerman Barat di final. Laga yang patut dikenang oleh siapapun pecinta sepakbola di kolong jagat. Belanda bermain sangat indah tapi akhirnya kalah dan publik memberi mereka julukan yang kemudian menjadi legenda: champion without crown, juara tanpa mahkota.

Alih-alih bangga, bagi Cruyff, julukan ini justru sangat menyakitkan. “Tidak ada yang lebih membuatku bersedih dibandingkan gelar itu. Juara pastilah berhiaskan mahkota. Jika ada juara tapi tidak mendapatkan mahkota, pasti ada yang salah padanya,” kata Cruyff dalam biografinya, The Totalvoetballer.

Empat musim berselang, Belanda masih menakutkan, meski tanpa Cruyff yang memilih hengkang dari skuat setelah berselisih paham dengan Ernst Happel, pelatih pengganti Michels. Tapi sekali lagi, mereka pulang ke Negeri Bawah Air dengan gelar yang sama. Lagi-lagi rontok pada laga pamungkas di tangan tuan rumah. Usai bermain imbang 1-1 sepanjang 90 menit, di fase perpanjangan waktu, gawang Belanda dibobol dua kali oleh Mario Kempes dan Daniel Bertoni.

Begitulah. Seperti menjadi kutukan, champion without crown, terus mengintai Belanda. Mereka memang sempat berupaya menunjukkan bahwa kutukan sudah terpatahkan dengan menjuarai Piala Eropa 1988. Tapi di pentas Piala Dunia, kutukan tetap berlaku. Piala Dunia 1990, dengan bintang-bintang yang sama, yang masih segar dan ambisius, Belanda malah hancur lebur. Piala- piala dunia selanjutnya pun berkesudahan tiada berbeda. Di Soccer City, Johannesburg, 32 tahun setelah malam final di Buenos Aires, para pemain Belanda kembali masuk final tapi tetap harus keluar lapangan dengan air mata berurai. Spanyol menekuk mereka 1-0.

Rinus Michels, Ernst Happel, dan Bert van Marwijk, telah menjadi saksi puncak-pucak kisah sedih De Oranje. Apakah Louis van Gaal juga akan mengalaminya?

Van Gaal, sejauh ini, tidak memberi jawaban. Pernyataan bernada optimistis justru dilayangkan kompatriotnya, Guus Hiddink. “Final tinggal satu langkah ke depan. Sebelum sampai ke sana,  kami harus lebih dahulu melewati Argentina, dan saya kira, menilik kepada strategi Van Gaal dan organisasi tim yang sangat bagus, kami bisa melakukannya,” katanya dalam wawancara dengan De Telegraaf.

Argentina, sebut Hiddink, memiliki Lionel Messi. Pemain yang bisa melakukan hal-hal ajaib, gila, dan tidak masuk akal. “Tapi kami juga punya Robin (Van Persie) dan Arjen (Robben) yang memiliki kapasitas untuk melakukan hal yang sama. Dan kami cukup beruntung, Messi tidak didukung oleh pemain berbahaya lain yang dengan upayanya dapat membuat perubahan besar.”

Pemain yang dimaksud Hiddink adalah Angel Di Maria. Messi boleh jadi Mesiah. Dari kakinya lahir gol-gol penting yang membuat Argentina lolos ke semifinal untuk kali pertama sejak 1990. Tapi lapangan tengah sepenuhnya tergantung pada Di Maria. Eksplosivitas gerakannya, tusukan- tusukan umpan silangnya, pun aksi penuh tipu daya serta tendangan keras yang tiba-tiba dilepaskannya, menjadi motor penggerak tim. Hingga lebih dari 10 menit setelah Di Maria ditarik keluar pada laga perempatfinal kontra Belgia, permainan Argentina limbung.

Tim medis Argentina telah mengeluarkan pernyataan, kondisi Di Maria tidak memungkinkan ia untuk tampil di semifinal. Cedera paha yang dialaminya sebenarnya ringan saja, namun jika dipaksa bermain, cedera ini dikhawatirkan potensial berkembang jadi lebih parah. Alejandro Sabella, pelatih Tango, setidaknya dari pernyataan terakhirnya yang dilansir NDTV, agaknya cenderung akan menuruti nasihat tersebut.

“Kami semua sangat berharap Angelito (julukan untuk Di Maria) dapat sembuh lebih cepat dan bergabung dengan tim. Tapi jika tidak, tentu, saya tidak akan mengambil resiko. Kami akan berusaha tanpa dia,” ujarnya.

 

Dimuat Harian Tribun Medan
Rabu, 9 Juli 2014
Halaman 1

Tinggalkan komentar