Don’t Cry For Me Argentina

  • review copa america

 

Berlangsung hampir bersamaan dengan Piala Eropa, berimbas besar pada kejuaraan sepakbola negara-negara benua Amerika. Padahal kejuaraan tersebut, Copa America, kali ini istimewa. Yakni penyelenggaraan ke 100, Centenario.

 

AFP PHOTO

LIONEL Messi

PADAHAL, Copa America bukan tak menghadirkan banyak bintang. Jika dibandingkan jumlahnya tidak kalah banyak. Bintang-bintang yang membela negaranya di Copa America juga beredar di klub-klub terkemuka Eropa.

Kenyataannya Piala Eropa memang membuat Copa America berhenti pada gaung sekadar. Magnet Piala Eropa jauh lebih kuat. Apa pasal? Sulit dijelaskan. Barangkali kemasan. Piala Eropa, dijual dengan cara yang lebih baik. Terutama dari sisi promosi.

Di sisi yang lain, negara penyelenggara Copa Amerika ikut memperparah level kepopuleran kejuaraan. Copa America Centenario digelar di Amerika Serikat, negara yang rakyatnya, sebagian besar, lebih suka menonton bisbol dan hoki es ketimbang sepakbola. Di Amerika, sepakbola punya nama lain. Bukan football, tetapi soccer. Mereka punya sepakbola sendiri. Sepakbola yang lebih banyak dimainkan dengan tangan ketimbang kaki.

Tapi begitulah, menjelang fase akhir, Copa America tetap menjemput takdirnya yang sejati: sepakbola Amerika yang menghibur dan dicintai. Dan puncak dari takdir itu adalah final yang mempertemukan Argentina dan Chile. Ulangan Copa America edisi sebelumnya, sekaligus panggung bagi seorang pembesar sepakbola era modern, Lionel Messi.

Panggung pembuktian, tepatnya. Messi dengan segenap kedigdayaan yang menyelimuti dirinya, akankah dapat mengakhiri penantian untuk ditahbiskan sebagai pahlawan bangsa?
Dalam segala hal, Lionel Messi sudah menyamai, bahkan melebihi, pencapaian Mario Kempes dan Diego Maradona, dua pahlawan Argentina dari era terdahulu. Kecuali satu, gelar untuk tim nasional.

Kempes, yang hanya bermain 43 kali untuk tim nasional Argentina dan melesakkan 20 gol, menjadi pahlawan di Piala Dunia 1978. Maradona, tentu saja, tak perlu dipapar lagi. Meksiko 1986 telah menjadi kisah klasik –Piala Dunia (mungkin satu-satunya) yang dikenang melulu karena aksi fenomenal seorang pemain ajaib.

Dua tahun lalu di Brasil, Lionel Messi berpeluang melewati Maradona. Iya, melewati, karena sepanjang kariernya, Maradona tidak pernah meraih medali emas olimpiade dan tropi Liga Champions. Peluang ini pupus. Di final, Argentina kalah dari Jerman lewat gol semata wayang Mario Gotza di menit 113.

Tak apa, masih ada Copa America. Gelar yang juga belum pernah diraih Maradona. Pascagagal mengatasi Chile di final kejuaraan nomor 99 di Estadio Nacional, Santiago, 4 Juli 2015, kesempatan itu datang lagi. Berduel di tempat netral, dengan keunggulan faktor teknis dan nonteknis, Argentina diperkirakan bisa melakukan pembalasan.

Namun yang menyeruak adalah drama. Bukan pembalasan melainkan kembali kekecewaan. Argentina yang bermain dominan, menciptakan banyak peluang, gagal menceploskan satu pun gol dan harus kalah lewat drama adu penalti.

Lebih menyesakkan, Lionel Messi berandil besar atas kekalahan ini. Menjadi eksekutor pertama, Messi gagal menuntaskan tugasnya.

Di lapangan, Messi menangis. Brewok yang makin tebal di wajahnya, tak mampu menutup kesedihan. Ia yang biasanya acuh dan dingin, tegar menerima kekalahan, melangkah gontai menuju bangku cadangan lantas terduduk lemas di sana, menyembunyikan wajah di balik kostum nomor 10 yang terkenal itu. Kamera televisi yang menyorot dari jarak dekat memperlihatkan betapa bahu Messi terguncang hebat.

“Sangat sakit ketika kita dihadapkan berkali-kali pada kegagalan. Saya sudah berupaya memberikan segala yang saya miliki,” kata Messi pada wartawan televisi Argentina, kurang satu jam setelah pertandingan. Pernyataan yang menyebar cepat dan dikutip banyak media di seluruh dunia.

“Ini final keempat. Saya lelah. Ini gelar yang saya inginkan. Dan saya kira saya bisa mendapatkannya, tapi ternyata tidak. Jadi saya kira semuanya sudah berakhir,” ujarnya lagi.
Kekalahan atas Chile agaknya memang memukul Messi terlalu keras. Barangkali ia tidak terlalu memikirkan perkara kesetaraan dengan Maradona. Barangkali bagi Messi itu tidak penting. Barangkali yang ditangisinya adalah kesempatan.

Kegagalan keempat Messi terjadi saat ia berusia 29. Usia emas seorang pesepakbola. Mungkin dia masih punya kemampuan untuk masuk skuat Argentina di Piala Dunia Rusia 2018 dan Copa Amerika Brasil 2019. Tapi usia emas itu sudah lewat. Di Rusia usianya 31, di Brasil 32.

Fakta bahwa tidak sedikit pemain meraih gelar puncak justru di usia yang hampir senja, dalam kasus Messi mungkin tidak berlaku.

Dia tidak bisa dibandingkan dengan Dino Zoff, misalnya.  Tahun 1982, Zoff  datang ke Piala Dunia Spanyol sebagai pemain tertua. Saat Italia bermain di final dan menang atas Jerman Barat, usianya 40 tahun, empat bulan, dan 13 hari. Jauh lebih tua dari Messi sekiranya masuk skuat Argentina di Rusia dan Brasil.

Zoff, juga kompatriotnya Fabio Cannavaro dan Filipo Inzaghi yang sama-sama meraih gelar juara dunia di usia 32, atau Laurent Blanc (32), Cafu (31), atau Daniel Pasarela (33), atau Miroslav Klose (36), membuktikan bahwa pemain-pemain tua juga bisa banyak berguna. Mereka boleh tidak lagi jadi andalan. Bahkan tak lagi mampu bermain penuh. Namun keberadaan mereka sudah cukup sebagai sumber motivasi. Pelecut semangat.

Messi berada dalam situasi berbeda. Situasi yang jauh lebih pelik dan kompleks,  karena terkaitpaut erat dengan mental dan psikologis. Final adalah pencapaian yang tinggi, tapi gagal di final sakitnya berlipat dua kali. Kesakitan yang membuat seorang lelaki paling gagah perkasa sekalipun bisa bersikap melankolis macam pemuda roman.

Maka ketika Lionel Messi kalah dan akhirnya menyerah, seperti pada tahun-tahun ketika ia juga gagal membawa tim nasional Argentina ke singgasana juara, foto- fotonya, rekaman-rekaman videonya, ditayangkan dengan iringan lagu Don’t Cry for Me Argentina.

Perkembangan pesat media sosial, dalam hal keragaman dan jumlah pengikut, membuat penyebaran foto dan rekaman video tersebut makin lebar dan luas.

Tapi ada yang sedikit berbeda. Kali ini tidak banyak kemeriahan. Tidak di Brasil, musuh turun-temurun Argentina di panggung sepakbola. Tidak di Uruguay, Paraguay, atau Kolombia. Tidak juga di Madrid, bebuyutan Barcelona, klub yang diperkuat Messi sejak masih remaja.

Banyak yang ikut menyanyikan lagu yang diciptakan untuk menghormati mantan ibu negara dan pemimpin Argentina, Evita Veron, ini. Dan entah dalam versi Julie Covington, Olivia Newton-John, atau versi Madonna, Don’t Cry for Me Argentina dinyanyikan dengan nada lebih syahdu.(*)

 

Dimuat Harian Tribun Medan
Selasa, 28 Juni 2016
Halaman 1

Kemilau Takhta Maracana

  • Jerman vs Argentina

 

Dia boleh menjadi kaisar. Tapi Tuhanlah yang memiliki kerajaan. Terima kasih, Albiceleste. Maafkan kami.

 

AFP PHOTO | PATRIK STOLLARZ | JUAN MABROMATA JOACHIM Loew dan Alejandro Sabella

AFP PHOTO | PATRIK STOLLARZ | JUAN MABROMATA
JOACHIM Loew dan Alejandro Sabella

KALIMAT ini diteriakkan di alun-alun Kota Buenos Aires, di kafe-kafe, di emper-emper toko, dan di rumah siapapun yang pada hari itu, 29 Juni 1986, memusatkan perhatian ke Estadio Azteca, Mexico City.

Kaisar yang dimaksud tentulah Franz Beckenbeauer. Tuhan? Siapa lagi kalau bukan Diego Armando Maradona. Ia memang tidak membuat gol. Tapi umpannya yang menakjubkan di menit 83 membuat Jorge Burruchaga leluasa menaklukkan Tony Schumaccer. Jerman tidak lagi punya waktu untuk mengejar ketertinggalan. Pluit berbunyi dan rakyat Argentina memang tak punya pilihan lain kecuali mengucap “perdon“, meminta maaf, pada tim nasional, La Albiceleste, juga pada Carlos Bilardo.

Jauh sebelum kompetisi dimulai, sebagian besar rakyat Argentina, termasuk para pengamat dan kolumnis sepakbola, memang berdiri di belakang Cesar Luis Menotti, pelatih yang membawa Argentina menjuarai Piala Dunia di tahun 1978. Menurut Menotti, strategi-strategi yang dikembangkan Bilardo hanya membuat Argentina menjadi defensif dan destruktif, sama sekali tidak mencerminkan gaya latin. Sepakbola adalah intuisi, sebutnya. Dan filosofi itu telah dengan semena-mena dibunuh Bilardo. Tidak ada lagi kegembiraan hati sebab bermain bola dalam konsep Bilardo adalah mekanisme kontrol lini per lini yang serba ketat. Menotti juga mengeritik Bilardo yang kelewat besar meletakkan beban harapan ke pundak Maradona. Nyatanya Argentina menang dan Menotti bungkam.

Empat tahun berselang, di Roma, Jerman kembali bertemu Argentina. Beckenbeauer dan Bilardo tetap pelatih kepala. Di lapangan masih ada Maradona, Burruchaga, juga Lothar Mathaus dan Rudi Voeller di kubu Der Panzer. Argentina memainkan strategi yang sama. Bahkan lebih memilukan lantaran sejak penyisihan hingga semifinal mereka lebih sering dinaungi keberuntungan. Beckenbeauer sendiri dengan cerdik memodifikasi kraftfusbal, pola tradisional Jerman yang mengandalkan fisik, kecepatan, dan kolektivitas. Ia menambahkan kadar offensivitas lewat serangan dari sektor sayap serta kecakapan individu sejumlah pemain, di antaranya Jurgen Klinsmann, Andreas Moller, dan Thomas Hasler. Di Italia 1990, Jerman bermain “lebih latin” ketimbang Albiceleste. Dan kali ini, kaisar memenangkan pertarungan.

Takdir bola mempertemukan lagi kedua negara. Panggungnya di Estadio Maracana, 14 Juli 2014. Di stadion yang dianggap sebagai “tempat suci” bagi rakyat Brasil ini, dari banyak jalan dengan segenap halang-rintang menujunya, Jerman dan Argentina yang tiba dengan selamat.

Bagi publik sepakbola Brasil, inilah final yang paling menyakitkan. Sejarah baru yang bakal disambut dengan air mata, siapapun pemenangnya. Jika Jerman juara, selain menjadi negara Eropa pertama yang bisa menjadi juara Piala Dunia di tanah latin, juga sekaligus berarti sebagai bentuk pentahbisan yang lebih sahih atas kekalahan telak Selecao di fase empat besar. Jerman memang pantas menduduki tahta itu. Apabila Argentina juara? Hanya Uruguay dan Chile yang bisa “mengimbangi”. Di luar itu, memang tidak ada negara lain di atas dunia terkasih ini yang dianggap sebagai musuh terbesar sepakbola Brasil. Maka bisa dibayangkan, alangkah hebat luka hati rakyat Brasil tatkala negara yang begitu mereka benci justru merayakan pesta di tempat suci mereka.

Tapi lupakanlah Brasil. Panggung akbar ini adalah milik Jerman dan Argentina. Beckenbeauer dan Bilardo sudah pernah berdiri di tepi lapangan, terhuyung-huyung dan dengan tangan gemetar menyapu wajah yang memucat. Karl-Heinz Rummenigge sudah pernah menangis. Maradona berlutut di lapangan, menengadahkan wajahnya yang murung dan berlinang air mata. Siapakah di edisi ini yang akan tertawa paling akhir?

Sekali lagi, banyak jalan menuju Maracana, tapi memang hanya Jerman dan Argentina yang sampai di sana. Mereka tidak hanya selamat. Jerman dan Argentina mengetuk pintu salah satu stadion terbesar di kolong jagat ini dengan penuh gaya.

“Banyak orang bilang Jerman sudah selesai di Brasil. Puncak performa Jerman adalah saat kami menekuk Brasil. Ini sungguh pendapat yang keliru. Sesungguhnya kami bermain biasa saja di hadapan Brasil. Bahwa kami menang begitu besar, saya pikir itu semata-mata karena penurunan luar biasa dari kualitas mereka yang seharusnya,” kata Joachim Loew pada NDTV Sports. “Kami menyiapkan yang terbaik untuk laga terakhir.”

Loew telah berpengalaman dua kali menghadapi Argentina. Tahun 2006 ia berada di bench mendampingi Klinsmann. Empat tahun berselang ia menjadi komandan pascapengunduran diri Klinsman yang memilih melanjutkan karier sebagai pelatih kepala Tim Nasional Amerika Serikat. Di kedua edisi Piala Dunia ini, Ubber Alez menekuk Tango,4-2 (adu penalti) di tahun 2006 dan 4-0 di tahun 2010.

“Delapan tahun yang menyenangkan. Apakah setelah 12 tahun kami masih bisa menang? Saya yakin meski tidak mau gegabah. Setelah dua kali kalah, pasti ada motivasi lebih kuat untuk tidak mengalami yang ketiga,” ujarnya.

Dibanding empat tahun lalu, kekuatan kedua kesebelasan memang tidak banyak berubah. Jerman memetik buah dari pembibitan yang mereka lakukan sejak 14 tahun lalu. Para pemain muda mereka terus tumbuh, bermunculan bak cendawan di musim hujan. Sementara bintang-bintang yang sekarang menyebar rata ke seluruh penjuru Eropa, tengah memasuki era usia emas.

“Jerman bermain sebagai tim dan mereka terdiri dari individu-individu kelas satu. Loew telah berhasil menemukan keping-keping puzzle yang belum lengkap pada Piala Eropa lalu,” kata Bierhoff, asisten Loew, pada Bild.

Keping-keping itu adalah Toni Kroos dan Matt Hummels. Kedua pemain ini sebenarnya sudah masuk dalam skuat Jerman di Euro 2012. Namun belum mendapatkan peran sentral. Terutama sekali Hummels. Loew ketika itu masih penuh mempercayakan benteng pertahanan pada Per Mertesacker. Sedangkan Kroos nyaris selalu berada di bawah bayang-bayang Bastian Schweinsteiger. Perannya tak jelas. Kedatangan Josep Guardiola ke Bayern Muenchen, membuka mata Loew.

“Dia pelatih yang selalu membuka diri pada diskusi-diskusi, termasuk terhadap orang yang berseberangan paham dengannya. Dia bukan seorang diktator. Inilah kunci kesuksesan Jerman dalam satu dekade terakhir,” ujar Bierhoff.

Suasana yang “demokratis” dan “cenderung tenang” seperti ini tidak ada di Tim Nasional Argentina. AFA menunjuk Alejandro Sabella sebagai pelatih kepala Albiceleste sejak tahun 2011. Sebelum dia, tercatat ada empat pelatih yang ditunjuk silih berganti sejak kegagalan di Piala Dunia 2006. Termasuk Diego Maradona. Misi yang harus dituntaskan Sabella jelas: mengakhiri puasa gelar selama 28 tahun.

Maka seperti Bilardo, 28 dan 24 tahun lalu, sejak awal pembentukan tim ia diterus direcoki. Ia diserang habis-habisan saat tidak menyertakan Javier Pastore dan Ever Barega ke Brasil. Kedua pemain ini dinilai publik dapat menjadi playmaker, pengatur ritme dan pembagi bola di lapangan tengah. Pemain dengan tipikal seperti ini selalu ada dalam Tim Nasional Argentina. Tapi Sabella menutup telinganya dan para pengeritik meramalkan Lionel Messi dan kawan-kawan tidak akan sampai ke fase empat besar. Ramalan ini ternyata mentah. Akankah seperti pada 1986, para pengeritik dan rakyat Argentina akan ramai-ramai meminta maaf pada Sabella? Atau justru Loew yang akan mensejajarkan namanya dengan Beckenbeauer?

 

Dimuat Harian Tribun Medan
Minggu, 13 Juli 2014
Halaman 1

Ke Maracana untuk Balas Dendam

  • Review Belanda vs Argentina

Selain Uruguay, musuh terbesar bagi Brasil di Amerika Selatan, adalah Argentina. Kedua negara telah bentrok 95 kali di lapangan hijau. Argentina menang 36 kali, Brasil 35 kali, sedangkan 24 laga lain berkesudahan imbang. Di Brasil ada satu ungkapan: “boleh kalah dari siapa saja, asal tidak dari Argentina.”

 

AFP PHOTO | ODD ANDERSEN

AFP PHOTO | ODD ANDERSEN

PADA Piala Dunia 2014, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah penyenggaraan, Argentina dan Brasil sama-sama melaju ke fase empat besar. Mereka tidak saling bertemu. Brasil bertanding lebih dahulu di Belo Horizonte dan di luar akal yang paling gila sekali pun, mereka ditekuk Jerman 1-7. Bencana nasional untuk Brasil!

Di tengah duka, sebagian suporter Selecao, menatap ke Sao Paolo. Argentina bentrok dengan Belanda. Meski berarti akan memecahkan rekor sebagai Piala Dunia di benua Latin pertama yang memanggungkan Eropa versus Eropa, para suporter yang sudah putus harapan ini sepenuhnya rela. Tak apa, bagi mereka ini memang sama sekali bukan soal Belanda. Tapi Argentina jangan sampai menang dan menginjakkan kaki di Maracana.

Harapan ini pupus. Menit demi menit di masa normal tidak melahirkan gol. Pun begitu di babak tambahan. Louis van Gaal kali ini tidak menerapkan strategi “Ali Baba”. Tak ada langkah ajaib. Menakar potensi besar dapat melesakkan gol pada babak perpanjangan waktu, Van Gaal melakukan pergantian terakhir yang riskan. Robin van Persie masuk, Klass Jan Huntelaar masuk. Tim Krul, pahlawan kemenangan Belanda atas Kosta Rika, tetap duduk di bangku cadangan.

Begitulah, De Oranje gagal membobol gawang Tango. Ada penalti pun dilakukan dan teranglah sudah betapa strategi “Ali Baba”, strategi ajaib, Van Gaal di laga perempatfinal sesungguhnya memang jenius. Jasper Cillessen memang sekadar medioker untuk urusan menghempang tendangan 12 pas. Empat eksekutor Argentina mulus menerabasnya. Sementara Ron Vlaar dan Wesley Sneijder, gagal menaklukkan Sergio Romero.

Maka di lini masa Twitter, juga di Facebook, bertebaran buncahan histeria kegembiraaan rakyat Argentina, yang celakanya dikemas dalam bentuk sindiran terhadap Selecao. “Tell me how it feels“; “Brazil found a spectacular way to erase the memories of 1950“; “Argentina fans still in Arena forum, loudly counting to seven, singing Brasil decime que se siente/siete“; dan lain sebagainya.

Lewat cara yang lebih santun, Buenos Aires Herald menuliskan dalam headline mereka, “Maaf, Brasil, kami ke Final. Albiceleste akan pergi ke Maracana untuk satu misi balas dendam.”

Clarin, media bertiras besar lain, memaparkan perayaan pesta kemenangan yang meriah di jantung Buenos Aires, dan memperbandingkannya dengan karnaval kesedihan di Rio de Jeneiro. Di akhir laporan utama tersebut, mereka menulis: “Jerman, kami tak takut kepadamu. Empat tahun terlalu lama untuk menuntaskan sakit hati.”

Argentina bertemu Jerman 20 kali, enam di antaranya di perhelatan Piala Dunia. Pertemuan pertama digelar di Malmo, Swedia, 8 Juni 1958. Jerman menang 3-1. Sedangkan laga terakhir berlangsung di Cape Town, Afrika Selatan, 3 Juli 2010. Kali ini, Argentina dipermak empat gol tanpa balas. Dua laga lain, masing-masing di edisi 1986 dan 1990, kedua kesebelasan bersua di laga pamungkas. Edisi 1986 menjadi milik Argentina 3-2, sedangkan empat tahun berselang, giliran Jerman yang unggul 1-0. Total, termasuk laga-laga ujicoba, Argentina berhasil tujuh kali menaklukkan Jerman. Sebaliknya, sembilan kali mereka kalah dan empat laga lain berakhir seri.

Namun di antara seluruh kekalahan yang pernah diderita, kekalahan di Afrika Selatan yang membuat Argentina merasa paling tersakiti. Bukan semata perkara jumlah lesakan golnya. Namun di laga tersebut, Jerman “bersikap” seolah-olah mereka guru dan Tango hanya murid yang dungu. Nyaris persis seperti kejadian seperti cara Brasil dibungkam di Belo Horizonte kemarin. Messi yang begitu digadang dapat mengejar kecemerlangan Diego Maradona, malah dihancurkan oleh soliditas Der Panzer.

“Kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama,” kata Pelatih Argentina, Alejandro Sabella. “Jerman adalah tim yang sangat brilian. Mereka bermain dengan taktik dan teknik sempurna, serta pemain yang memiliki fisik prima serta beberapa di antaranya memiliki sentuhan latin. Menghadapi tim yang dibentuk dengan rencana jangka panjang, kami juga harus bermain dengan cara serupa. Kami akan bermain bersama, sebagai tim. Dan Messi akan menjadi penghancurnya.”

Suporter Jerman, membalas keoptimisan kubu Argentina dengan sentilan yang tajam. Di laman sosial, mereka menyerang suporter Argentina dengan mengutip analisis kolumnis Brendan Greeley di Bloomberg BusinessWeek. Menurut Greeley, kemenangan Jerman, terlepas dari kerapuhan internal skuat Selecao, juga disebabkan oleh satu grand design apik yang telah dirancang secara cermat dan dijalankan secara setia selama 14 tahun. Jerman, kata Greeley, memupuk pemain-pemain muda dengan sangat sabar, dan mereka memetik hasilnya yang manis. Oleh para suporter Jerman, kalimat ini ditambah. “Kami sudah melakukannya untuk kalian empat tahun lalu. Dan kami akan melakukannya lagi di Maracana.”

 

Dimuat Harian Tribun Medan
Jumat, 11 Juli 2014
Halaman 1

Menghapus Gelar Menyakitkan

  • Belanda vs Argentina

Belanda datang ke Jerman di tahun 1974 dengan status sebagai favorit juara. Perkaranya adalah Ajax Amsterdam, Feyenoord Rotterdam, dan Rinus Michels.

 

AFP PHOTO | FILES | MARTIN BERNETTI | NELSON ALMEIDA ARJEN Robben dan Lionel Messi

AFP PHOTO | FILES | MARTIN BERNETTI | NELSON ALMEIDA
ARJEN Robben dan Lionel Messi

SECARA beruntun selama tiga musim sejak 1971, Ajax merajai panggung sepakbola Eropa paling gemerlap, European Champions Cup. Panatinaikos, Inter Milan, dan Juventus, coba mengadang, tapi tak berdaya. Sedangkan Feyenoord, pada 21 Mei 1974, menekuk Tottenham Hotspur 4-2 untuk merengkuh tropi UEFA Cup. Ajax dan Feyenoord menerapkan filosofi bola yang sama, filosofi yang dilahirkan seorang master bernama Rinus Michels, Totaal Voetbal.

Tiga kekuatan ini menyatu di tubuh De Oranje. Michels memimpin pasukan Belanda yang separuhnya berisi penggawa-penggawa Ajax dan Feyenoord, plus talenta berkelas dari PSV Eindhoven, dua bersaudara van de Kerkhof, Willy dan Rene. Pasukan ini dipimpin seniman bola yang diterbangkan dari Barcelona, Johan Cruyff. Siapa yang tak gentar dengan kekuatan ini? Bahkan Jerman (Barat), sang tuan rumah yang memiliki jenderal brillian, Franz Beckenbeauer, memilih untuk tidak sesumbar.

Tapi begitulah, setelah melewati enam laga yang sangat meyakinkan (hanya sekali tertahan 0-0  oleh Swedia yang memainkan strategi beton di babak penyisihan grup), Belanda ditekuk Jerman Barat di final. Laga yang patut dikenang oleh siapapun pecinta sepakbola di kolong jagat. Belanda bermain sangat indah tapi akhirnya kalah dan publik memberi mereka julukan yang kemudian menjadi legenda: champion without crown, juara tanpa mahkota.

Alih-alih bangga, bagi Cruyff, julukan ini justru sangat menyakitkan. “Tidak ada yang lebih membuatku bersedih dibandingkan gelar itu. Juara pastilah berhiaskan mahkota. Jika ada juara tapi tidak mendapatkan mahkota, pasti ada yang salah padanya,” kata Cruyff dalam biografinya, The Totalvoetballer.

Empat musim berselang, Belanda masih menakutkan, meski tanpa Cruyff yang memilih hengkang dari skuat setelah berselisih paham dengan Ernst Happel, pelatih pengganti Michels. Tapi sekali lagi, mereka pulang ke Negeri Bawah Air dengan gelar yang sama. Lagi-lagi rontok pada laga pamungkas di tangan tuan rumah. Usai bermain imbang 1-1 sepanjang 90 menit, di fase perpanjangan waktu, gawang Belanda dibobol dua kali oleh Mario Kempes dan Daniel Bertoni.

Begitulah. Seperti menjadi kutukan, champion without crown, terus mengintai Belanda. Mereka memang sempat berupaya menunjukkan bahwa kutukan sudah terpatahkan dengan menjuarai Piala Eropa 1988. Tapi di pentas Piala Dunia, kutukan tetap berlaku. Piala Dunia 1990, dengan bintang-bintang yang sama, yang masih segar dan ambisius, Belanda malah hancur lebur. Piala- piala dunia selanjutnya pun berkesudahan tiada berbeda. Di Soccer City, Johannesburg, 32 tahun setelah malam final di Buenos Aires, para pemain Belanda kembali masuk final tapi tetap harus keluar lapangan dengan air mata berurai. Spanyol menekuk mereka 1-0.

Rinus Michels, Ernst Happel, dan Bert van Marwijk, telah menjadi saksi puncak-pucak kisah sedih De Oranje. Apakah Louis van Gaal juga akan mengalaminya?

Van Gaal, sejauh ini, tidak memberi jawaban. Pernyataan bernada optimistis justru dilayangkan kompatriotnya, Guus Hiddink. “Final tinggal satu langkah ke depan. Sebelum sampai ke sana,  kami harus lebih dahulu melewati Argentina, dan saya kira, menilik kepada strategi Van Gaal dan organisasi tim yang sangat bagus, kami bisa melakukannya,” katanya dalam wawancara dengan De Telegraaf.

Argentina, sebut Hiddink, memiliki Lionel Messi. Pemain yang bisa melakukan hal-hal ajaib, gila, dan tidak masuk akal. “Tapi kami juga punya Robin (Van Persie) dan Arjen (Robben) yang memiliki kapasitas untuk melakukan hal yang sama. Dan kami cukup beruntung, Messi tidak didukung oleh pemain berbahaya lain yang dengan upayanya dapat membuat perubahan besar.”

Pemain yang dimaksud Hiddink adalah Angel Di Maria. Messi boleh jadi Mesiah. Dari kakinya lahir gol-gol penting yang membuat Argentina lolos ke semifinal untuk kali pertama sejak 1990. Tapi lapangan tengah sepenuhnya tergantung pada Di Maria. Eksplosivitas gerakannya, tusukan- tusukan umpan silangnya, pun aksi penuh tipu daya serta tendangan keras yang tiba-tiba dilepaskannya, menjadi motor penggerak tim. Hingga lebih dari 10 menit setelah Di Maria ditarik keluar pada laga perempatfinal kontra Belgia, permainan Argentina limbung.

Tim medis Argentina telah mengeluarkan pernyataan, kondisi Di Maria tidak memungkinkan ia untuk tampil di semifinal. Cedera paha yang dialaminya sebenarnya ringan saja, namun jika dipaksa bermain, cedera ini dikhawatirkan potensial berkembang jadi lebih parah. Alejandro Sabella, pelatih Tango, setidaknya dari pernyataan terakhirnya yang dilansir NDTV, agaknya cenderung akan menuruti nasihat tersebut.

“Kami semua sangat berharap Angelito (julukan untuk Di Maria) dapat sembuh lebih cepat dan bergabung dengan tim. Tapi jika tidak, tentu, saya tidak akan mengambil resiko. Kami akan berusaha tanpa dia,” ujarnya.

 

Dimuat Harian Tribun Medan
Rabu, 9 Juli 2014
Halaman 1

Mimpi Memang Harus Berakhir

Sebelum bertolak ke Brasil, Jose Luis Pinto, mengatakan bahwa pasukannya hanya akan membawa cita-cita sederhana. Cita-cita yang “merendah”. Sama sekali tidak mencerminkan sikap optimistis, apalagi ambisius. Katanya: “kami berharap tidak datang sebagai turis”.

 

AFP PHOTO | FABRICE COFFRINI PEMAIN Kosta Rika berlutut bersama saat adu penalti kontra Belanda

AFP PHOTO | FABRICE COFFRINI
PEMAIN Kosta Rika berlutut bersama saat adu penalti kontra Belanda

APA boleh buat. Kosta Rika memang bukan siapa-siapa di kancah persepakbolaan dunia. Tiga kali lolos ke putaran final sebelumnya, pencapaian tertinggi mereka adalah fase 16 besar di Italia 1990. Dua keikutsertaan lain, La Sele -julukan tim nasional Kosta Rika- kandas di babak grup.

Perjalanan mereka ke Brasil sebenarnya cukup meyakinkan. Kosta Rika lolos sebagai runner up zona Concacaf (Amerika Utara, Kanada, dan Kepulauan Karibia), mengganggu dominasi dua kekuatan utama, Amerika Serikat dan Meksiko. Persoalannya adalah, di Brasil, mereka tergabung di Grup D yang dihuni para raksasa, para juara dunia. Apalah arti Kosta Rika di hadapan Uruguay, Italia, dan Inggris? Maka tidak seorang pun rakyat negeri penghasil kopi, pisang, dan nenas, ini yang melontar protes. Mereka pasrah. Dan berusaha tetap senang. Betapapun lolos ke Piala Dunia tetap merupakan kebanggaan.

Namun semua berubah setelah laga pertama. Tanpa ada yang menduga, Kosta Rika memapas Uruguay 3-1. Lalu kemudian giliran Italia yang digebuk. Di laga terakhir, Inggris ditahan 0-0. Kosta Rika batal jadi turis. Batal berjemur di Copacabana. Batal mengagumi Cristo Redentor, patung Kristus Sang Penebus yang berdiri kokoh di puncak bukit Corcovado Rio De Jeneiro. Mereka menjadi juara grup dan harus pergi ke Arena Pernambuco di Kota Recife untuk menghadapi Yunani, dan mendadak, di San Jose maupun kota-kota lain di Kosta Rika, kepasrahan menguap. Kebanggaan lolos ke Piala Dunia beranjak jadi kebahagiaan, karena Joel Campbel, Oscar Duarte, Celso Borges, Bryan Ruiz, dan seluruh anggota skuat telah membuat mereka berani merajut mimpi.

“Kita telah mencipta sejarah!” tulis The Tico Times, satu-satunya harian berbahasa Inggris di negeri itu, tatkala Kosta Rika kemudian melangkahkan kaki lebih jauh ke perempat final. Bermain 1-1 di waktu normal, mereka akhirnya mengandaskan Yunani lewat drama adu penalti.

Koran berbahasa Spanyol, La Nacion, bahkan menuliskan laporan yang agak provokatif dan hiperbolik. “Belanda? Mari kita menghadapi mereka dengan gembira.”

Tidak ada persoalan apapun lagi pada diri Kosta Rika. Mereka sudah berada pada satu zona di mana segala bentuk kecemasan, segala bentuk beban dan keragu-raguan, telah menyatu menjadi keriangan. Zona yang mengembalikan sepakbola pada khittahnya yang paling purba, permainan. Terpenting adalah turun bertanding, lalu berlari, memburu bola. Menang atau kalah, urusan belakangan.

“Sama sekali tidak pernah terpikir bahwa saya, bahwa kami semua, akan bertahan sampai sejauh ini. Belanda dipenuhi talenta-talenta hebat, nama-nama besar. Saya bahkan tidak pernah bermimpi akan berhadap-hadapan langsung dengan (Robin) van Persie, (Arjen) Robben, dan (Wesley) Sneijder. Saya sangat gembira. Saya tidak mungkin melewatkannya begitu saja. Saya akan bersenang-senang,” kata Navas dalam wawancara dengan Guardian.

Dibanding sebagian besar rekannya, Keylor Antonio Navas Gamboa, kiper Kosta Rika, sebenarnya tidak terlalu asing dengan pentas elite sepakbola, khususnya di Eropa. Ia bermain untuk Levante di La Liga Primera. Setelah masa peminjaman dari Albacete selama satu tahun berakhir, Levante mengontraknya secara resmi sejak musim 2012. Total ia bermain dalam 46 laga. Artinya, Navas kerap berhadap-hadapan dengan para mega bintang yang bercokol di Real Madrid, Atletico, dan Barcelona. Ia sudah terbiasa menjajal Cristiano Ronaldo, Gareth Bale, Lionel Messi, dan Neymar, yang notabene tak berbeda kelas dari ketiga penggawa Belanda itu. Namun boleh jadi, Navas melontarkan kalimat ini untuk menyuntikkan semangat pada rekan- rekannya. Untuk makin mengikis rasa cemas dan gugup dalam diri mereka.

“Mimpi ini masih indah. Sangat-sangat indah. Kami hanya ingin berharap agar ia tak cepat berakhir. Kami ingin menikmatinya lebih lama lagi,” kata Pinto.

Harapan lelaki Kolombia yang telah menangani La Sele sejak 2011 ini nyaris terwujud. Di lapangan, pasukannya bermain kesetanan. Memang benar sama sekali tidak ada lagi tersisa rasa takut mereka. Para pemain Kosta Rika seolah lupa bahwa lawan mereka adalah Belanda, tiga kali finalis Piala Dunia. Van Persie frustasi. Sneijder berulangkali berteriak kesal. Robben apalagi. Berkali-kali terobosan maupun aksi diving-nya yang terkenal gagal memenuhi tujuan. Hingga waktu normal dan tambahan usai, skor tetap 0-0.

Tibalah saatnya “tos-tosan”. Adu penalti di mana faktor teknis berkelindan sempurna dengan kepercayaan diri dan nasib baik. Dan kali ini, Belanda lebih beruntung. Strategi mengagetkan Louis van Gaal yang menarik keluar kiper utama Jasper Cillessen persis di menit akhir waktu tambahan, berbuah manis. Tim Krul benar-benar menjelma penyelamat Belanda. Kiper yang merumput bersama Newcastle United ini mengadang cocoran dua eksekutor Kosta Rika, Ruiz dan Michael Umana.

Con el Corazon Roto, Pero con El Alma Intacta,” tulis La Nacion. “Kita merasa sakit, tapi kita telah menunjukkan jiwa besar”. Tico Times tak kalah patriotis. “Pain but Pride“, “Menyakitkan tapi Membanggakan”. Dan di tepi lapangan Arena Fonte Nova, Pinto, yang berdiri terhuyung- huyung menahan haru, mendapatkan tepuk tangan paling tulus dari seluruh penjuru negeri.

Tersingkirnya Kosta Rika akhirnya membuat jalan Piala Dunia kembali pada “kelaziman”. Empat kesebelasan yang menapak di semifinal adalah negara-negara besar di jagat sepakbola. Selain Belanda, juga ada Jerman, Argentina, dan tuan rumah Brasil. Satu kombinasi sangat menjanjikan untuk terciptanya sejarah baru.

Seperti deja vu, kombinasi semifinal 2014 mirip dengan semifinal 1950. Ketika itu kombinasinya adalah Swedia, Spanyol, Uruguay dan Brasil yang juga bertindak sebagai tuan rumah. Menggunakan sistem setengah kompetisi, Uruguay dan Brasil akhirnya melaju ke final.

Bagaimana dengan edisi kali ini? Ditilik lebih jauh, Piala Dunia yang dihelat di benua Amerika (Selatan maupun Utara), selalu menghasilkan juara yang berasal dari benua yang sama. Pula begitu saat dihelat di Eropa. Akankah Brasil 2014 jadi pembeda?
Brasil sejak awal diprediksi sebagai favorit juara. Selain faktor tuan rumah, dari sisi teknis mereka juga sangat mumpuni.

Namun hingga perempatfinal, Selecao tak kunjung menunjukkan performa yang benar-benar meyakinkan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Brasil memiliki barisan belakang yang lebih kuat dan mencolok dibanding barisan depan. Terkaparnya Neymar da Silva Santos Jr akibat cedera retak tulang belakang, kian membuat Brasil nelangsa. Mantan pelatih tim nasional Inggris yang kini jadi komentator, Glenn Hoddle, menyebut tanpa Neymar, kekuatan Brasil tinggal 50 persen. Brasil kian compang-camping setelah kapten sekaligus komandan di lini belakang, Thiago Silva, juga harus absen karena akumulasi kartu kuning. Dengan kondisi seperti inilah mereka harus menghadapi Jerman yang tengah on fire.

Limbungnya Brasil ditangkap dengan cermat oleh Joachim Loew. Maka ia pun memerintahkan seluruh awak Der Panzer, termasuk official, melakukan “gerakan tutup mulut”. Kamp latihan tim nasional Jerman yang semula tidak pernah dijaga ketat, mendadak tertutup untuk siapa saja. Termasuk wartawan-wartawan dari Jerman sendiri. Loew merahasiakan benar strategi yang akan ia turunkan saat dijamu Brasil di Belo Horizonte, 9 Juli 2014 mendatang.

Partai Belanda kontra Argentina menjanjikan kesengitan yang sama. Ini merupakan ulangan perempatfinal Perancis 1998. Belanda ketika itu unggul 2-1 lewat gol Denis Bergkamp di menit 89. Gol pertama Belanda dilesakkan Patrick Kluivert yang saat ini menjadi asisten Van Gaal.

Apakah Belanda dapat mengulanginya? Kekuatan kedua kesebelasan sudah berubah. Argentina kini memiliki Lionel Messi dan kehadirannya membuat Tango seolah-olah kembali ke masa keemasan Diego Maradona. Namun Messi adalah juga semacam ambigu. Andalan tapi sekaligus juga berarti kartu mati. Begitu tinggi ketergantungan terhadap Messi, hingga baik-buruknya level permainan Argentina secara menyeluruh bergantung pada performanya. Van Gaal tentu sudah lama mempersiapkan penangkal.

 

Dimuat Harian Tribun Medan
Senin, 7 Juli 2014
Halaman 1

Nafas Lokomotif Hampir Putus

(Tulisan ini dibuat jelang digelarnya fase Perempatfinal Piala Dunia 2014)

 

Ada sejumlah fenomena yang terjadi di perhelatan Piala Dunia 2014. Pertama, tentu saja, jumlah gol yang tercipta. Total 136 gol dari 48 laga di delapan grup, atau jika dirata-ratakan 2,83 gol per laga. Rataan ini meningkat dibanding rekor gol pada fase yang sama di Piala Dunia 2010 (101 gol atau 2,10 gol per laga).

 

FOTO-FOTO: AFP PHOTO

FOTO-FOTO: AFP PHOTO

FENOMENA lain tentulah terdepaknya negara-negara unggulan. Spanyol, juara bertahan, pagi-pagi sudah memastikan angkat koper. Disusul Inggris dan Italia. Untuk kali pertama dalam sejarah Piala Dunia, tiga negara dengan liga yang dianggap berkelas premium di Eropa, gagal melewati fase grup. Portugal, negara yang juga memiliki rekam jejak kuat di panggung sepakbola dunia,  menyusul kemudian.

Di sisi lain, kekuatan-kekuatan semenjana macam Yunani, Chile, Kosta Rika, Amerika Serikat, Nigeria, dan Aljazair, menapak di 16 besar. Fakta yang kemudian memunculkan semacam harapan: kejutan di Brasil akan berlanjut -paling tidak seperti Korea Utara di Piala Dunia 1966, Kamerun 1990, dan Kroasia 1998. Ketiga negara ini, tanpa diduga lolos dari adangan negara- negara besar. Korea Utara dan Kamerun mendarat di babak perempat final, sedangkan Kroasia malah menembus semi final. Korea Selatan sebenarnya juga mencapai level yang sama dengan Kroasia. Mereka malah hampir sampai di final apabila jenderal lapangan tengah Jerman, Michael Ballack, tidak cermat memanfaatkan bola liar di menit 75. Namun status sebagai tuan rumah, plus sejumlah “dugaan skandal kecurangan”, membuat keberhasilan The Taegeuk Warrior  “kurang mendapat pengakuan”.

Harapan ini hampir terwujud. Iya, sekadar hampir, karena di fase knock out pertama seluruh kekuatan semenjana tadi, kecuali Kosta Rika, terdepak dari persaingan menuju Estadio do Maracana, Rio de Janeiro, 14 Juli 2014 mendatang.

Namun yang perlu dicatat, proses menuju kegagalan ini tidak terjadi dengan mudah. Brasil “hanya” menang adu penalti atas Chile. Belanda baru dapat mengungguli Meksiko di menit 94. Perancis ngos-ngosan menekuk Nigeria dan harus menunggu sampai menit 79 untuk mendapatkan gol pertama lewat Paul Pogba. Satu gol lain di menit 92 merupakan bunuh diri Joseph Lobo.

Jerman, Argentina, dan Belgia juga mengalami masalah yang sama. Jerman unggul 2-1, tapi Andre Schurrle baru dapat memecah kebuntuan di menit 92. Argentina beruntung memiliki Lionel Messi. Sepanjang 2×45 menit tersiksa oleh marking ketat pemain-pemain Swiss, Messi berhasil memanfaatkan celah sempit untuk mengirim bola matang untuk dieksekusi Angel Di Maria. Gol ini terjadi di menit 118.

Tiket terakhir menjadi milik Belgia. Jago lama yang kembali menjadi favorit berkat lesatan performa talenta-talenta mudanya. Tapi lagi-lagi bukan laga mudah. Setelah fase normal yang agak menjemukan, Marc Wilmots dan Juergen Klinsmann melakukan pergantian-pergantian yang jitu di babak perpanjangan waktu. Wilmots menarik Divock Origi untuk Romelu Lukaku. Sedangkan Klinsmann memasukkan Julian Green dan mengeluarkan Alejandro Bedoya. Permainan pun berubah secara signifikan. Belgia melesakkan dua gol beruntun lewat Kevin De Bruyne di menit 93 dan Lukaku 12 menit kemudian. Amerika Serikat kemudian bangkit dan berhasil memperkecil ketertinggalan di menit 107, melalui Green.

Pertanyaannya, kenapa pertarungan-pertarungan yang sengit ini terjadi. Apakah para semenjana memang telah begitu berkembang sehingga bisa mengimbangi kawanan raksasa? Tidak tepat benar demikian. Ada banyak faktor yang menyertainya. Bukan sekadar teknis atau strategi. tapi juga hal-hal lain seperti motivasi dan stamina.

Mengapa Spanyol tersingkir begitu cepat, perkaranya tentu bukan teknis. Ke 23 pemain pilihan Vicente del Bosque adalah pemain-pemain berkualitas nomor satu dan hal ini tak bisa dibantah. Benar pula bahwa Tikitaka bukan lagi misteri besar. Sejak Jose Mourinho menemukan formula untuk meredamnya, para pelatih di dunia telah melakukan berbagai pengembangan. Namun sekiranyapun berhasil, menghancurkan Tikitaka tetaplah bukan perkara mudah. Setidaknya, penghancur Tikitaka, penakluk Spanyol, haruslah memiliki level teknis dan strategi yang setara dengan mereka.

Lantas apa? Motivasi! Separuh dari skuat Spanyol yang dibawa Del Bosque ke Brasil adalah pemain-pemain yang sudah mendapatkan segala-galanya dari lapangan hijau. Segala gelar yang disediakan panggung sepakbola! Iker Casillas, misalnya. Dia mengoleksi tropi La Liga, Copa Del Rey, Super Copa Espana, UEFA Champions League, UEFA Super Cup, Intercontinental Cup, Euro (Piala Eropa, 2008 dan 2012), serta FIFA World Cup alias Piala Dunia (2010). Dan dia telah berusia 33, kesohor, kaya raya, punya pacar cantik. Sekiranya Spanyol juara lagi, bagi Casillas, juga Xavi Hernandez, Xabi Alonso, Andreas Iniesta, Sergio Ramos, Gerrard Pique, dan Fernando Torres, adalah sekadar bonus yang “mempercantik” curriculum vitae mereka.

Para pemain Inggris belum mendapatkan apa-apa, toh, mereka loyo juga? Inggris telah lama menjadi anomali. Negeri ini mengklaim sebagai tanah kelahiran sepakbola dan kini liganya menjadi salah satu yang paling gemerlap. Namun kebijakan FIFA dan UEFA yang membuat kata “asing” jadi terpiuhkan, yakni menganggap pemain asal uni Eropa sebagai “pemain lokal”, menjadikan Tim Nasional Inggris sebagai korban. Klub-klub besar Liga Inggris yang punya dana berlimpah lebih suka membeli pemain-pemain luar Inggris yang sedang bersinar. Musim lalu, klub yang paling banyak menempatkan pemain asli Inggris dalam starting eleven mereka adalah Liverpool. Dari total 38 laga, rata-rata Liverpool menurunkan lima sampai enam pemain Inggris. Juara musim lalu, Manchester City, secara reguler hanya menurunkan satu orang pemain Inggris, Joe Hart.

Lalu bagaimana dengan Italia, Portugal, juga Belanda, Perancis, Jerman, Belgia, Brasil, dan Argentina? Kurang lebih penyebabnya sama. Motivasi, teknis, dan satu lagi, stamina. Kawanan raksasa menyambut Piala Dunia dengan pemain-pemain yang baru jungkir-balik dan babak-belur di kompetisi Eropa. Banyak yang masih tersengal-sengal, bahkan merasakan sakit akibat cedera yang belum sepenuhnya sembuh. Ibarat lokomotif, “nafas” mereka sebenarnya hampir putus namun tetap dipaksa untuk berlari kencang.

Dalam kondisi seperti ini mereka harus berhadapan dengan Aljazair, Amerika Serikat, Meksiko, Swiss, Kolombia, atau Kosta Rika, yang lebih bugar karena tidak semua pemain mereka berkutat di kompetisi Eropa. Jika pun bermain di Eropa, kebanyakan mereka tidak merumput untuk klub- klub yang “cenderung tenang”. Bukan klub yang ikut dan mengincar tropi seluruh kejuaraan.
Tapi begitulah, kejutan, ternyata tidak berlanjut. Hanya Kosta Rika yang tersisa. Dan di fase selanjutnya, kawanan raksasa akan saling bunuh dengan kekuatan dan semangat mereka yang masih tersisa.

 

Dimuat Harian Tribun Medan
Kamis, 3 Juli 2014
Halaman 1

Senyum Merekah di Bibir Messiah

  • Argentina vs Swiss

Jika disejajarkan dengan bintang film, maka Lionel Messi adalah Sean Penn. Ia begitu dingin. David Kleinfeld, Matthew Poncelet, Sam Dawson, Jimmy Markum, dan Harvey Milk, adalah karakter-karakter luar biasa yang dihidupkan Penn dengan nyaris tanpa senyum. Kalau pun ada, senyum itu sejenis sungging kecil belaka. Bahaknya juga lebih terdengar sebagai kabar seram ketimbang merefleksikan perasaan berbahagia.

 

AFP PHOTO | JUAN MABROMATA LIONEL Messi

AFP PHOTO | JUAN MABROMATA
LIONEL Messi

PULA begitu Messi di lapangan. Kecuali saat ia melesakkan gol, Messi amat jarang melampiaskan emosinya lewat senyum. Ia berbeda dari Cristiano Ronaldo. Berbeda dari Zlatan Ibrahimovic atau David Beckham, apalagi jika dibandingkan dengan Ronaldinho dan Paul Gascoigne yang bukan saja amat sangat murah senyum, tapi juga doyan mengobrol dengan pemain lain, bahkan dengan wasit.

Manolin, seorang bocah suporter Malaga, menyebut Messi sebagai Cold Blood Assassin alias pembunuh berdarah dingin.

“Saya memeluknya dan dia diam saja, menatap lurus ke depan, dan terus begitu sampai petugas keamanan datang menangkap saya,” kata Manolin yang nekat menerobos pagar pembatas stadion kala Malaga menjamu Barcelona sekadar untuk memeluk Messi.

Manolin mengulang lagi percobaannya saat Malaga menjamu Real Madrid. Dan ia mendapatkan perlakuan berbeda.

“Ronaldo bertanya pada saya, siapa namamu, Anak Muda? Berapa umurmu? Bilang sama petugas keamanan, nanti kamu akan datang ke depan ruang ganti untuk kaus saya. Dan dia kemudian menghalangi petugas yang mau menangkap saya. Hati-hati, katanya, anak ini cuma penggemar sepakbola,” ujarnya.

Manolin berupaya mendapatkan janji Ronaldo. Sayangnya, dia tidak pernah bisa mendekati ruang ganti Madrid. “Tidak seorang pun dari mereka (petugas keamanan) yang percaya pada saya!”

Testimoni Manolin, yang oleh media massa Spanyol kemudian disebut sebagai The Boy from Malaga (video penerobosan Manolin sangat populer di Youtube), semakin menguatkan Lionel Messi sebagai “hanya” pesepakbola. Dia bukan seorang yang bisa menjadi pesohor yang tetap memiliki kharisma kebintangan kelas premium di luar lapangan hijau. Messi terlalu kaku untuk itu.

Di awal-awal Piala Dunia 2014, senyum makin menjauh dari bibir Messi. Bagaimana tidak, harapan seluruh rakyat Argentina dibebankan ke pundaknya. Secara pribadi, Messi hendak memecahkan kebuntuan. Masuk skuat Tango sejak Piala Dunia 2006, La Pulga belum sekalipun melesakkan gol. Padahal di klubnya, Barcelona, Messi adalah kata lain dari gol.

Azeglio Vicini, pelatih Tim Nasional Italia di Piala Dunia 1990, memiliki “teori” yang unik menyangkut keran gol yang tersendat ini. Menurut Vicini, tiap pemain, khususnya striker, memiliki apa yang disebutnya sebagai ‘gol pembebasan’.

“Apabila satu gol sudah tercipta, maka gol-gol lain akan mengalir dengan sendirinya. Seolah-olah bola yang datang meminta untuk diceploskan,” katanya.

Vicini berbicara merepresentasikan dua ujung tombaknya kala itu, Gianluca Viali dan Andrea Carnevale. Namun gol pembebasan tak kunjung datang, dan atas nama harapan Italia, ia mengeluarkan keduanya dan memasukkan dua pengganti yang kemudian memang menjadi bintang, Salvatore Schilacci dan Roberto Baggio.

Pelatih Argentina, Alejandro Sabella, tidak sampai melontarkan pernyataan seperti Vicini. Mungkin tepatnya tidak sampai melontarkan karena Messi sudah lebih dahulu mendapatkan gol pembebasan itu. Tidak tanggung-tanggung, Messiah -Messi Sang Penyelamat (sebutan yang dipopulerkan suporter Barcelona)- membobol gawang seluruh kontestan grup F. Masing-masing satu gol kontra Bosnia Herzegovina dan Iran, serta dua gol versus Nigeria.

Barangkali karena gol-gol inilah, kata Chris Waugh, kolumnis Daily Mail, yang membuat Messi lebih lepas.

“Untuk pertama kalinya setelah tiga pertandingan di Piala Dunia ini, saya melihat senyum di bibir Lionel Messi merekah lebih dari satu kali. Sungguh luar biasa. Dan tidak berlebihan jika ini saya sebut sebagai pertanda buruk bagi Swiss,” katanya.

Langkah Swiss di Brasil boleh dibilang pasang surut. Setelah menekuk Ekuador 2-1, di laga kedua mereka digelontor Perancis 5-2. Turun ke lapangan di bawah bayang-bayang kekalahan itu, Swiss yang diragukan dapat bangkit justru menggulung Honduras tiga gol tanpa balas. Seluruh gol diborong Xheridan Shaqiri.

Swiss pun berpesta. Mereka mengulang kesuksesan di Piala Dunia 1994 dan 2006. Namun ketika itu Swiss gagal melangkah lebih jauh. Tahun 1994 mereka disingkirkan Spanyol, sedangkan tahun 2006 ditekuk Ukraina. Akankah tahun ini mereka terhenti di fase yang sama?

Ottmar Hitzfeld menolak untuk merasa diri inferior. Berbicara pada Sportal, pelatih yang telah menangani Swiss sejak 2008 ini, mengatakan, anything is possible.

“Saya percaya, melawan Argentina atau tim mana pun, kami akan tetap memiliki peluang. Kami sudah sampai sejauh ini, dan saya katakan pada para pemain, tidak ada yang perlu ditakuti,” katanya.

 

Dimuat Harian Tribun Medan
Selasa, 1 Juli 2014
Halaman 1

Elang Masih Ingin Terbang

  • Nigeria vs Argentina

 

Setelah Kamerun membetot perhatian dunia pada Piala Dunia 1990, empat tahun kemudian, satu wakil Afrika lain, Nigeria, digadang bakal menghadirkan sentakan yang tak kalah fenomenal. Elang Super, demikian mereka dijuluki, memang datang dengan kekuatan menakutkan.

 

AFP PHOTO | JUAN BARRETO Pemain Kamerun merayakan kemenangan atas Bosnia Herzegovina

AFP PHOTO | JUAN BARRETO
Pemain Kamerun merayakan kemenangan atas Bosnia Herzegovina

TALENTA-TALENTA yang tidak hanya memiliki kemampuan teknis fantastis, tapi juga bertenaga luar biasa. Terutama pada empat nama: Augustine Azuka “Jay-Jay” Okocha, Emmanuel Amuneke, Daniel Owefin Amokachi, dan Victor Nosa Ikpeba. Mereka mematahkan stigma yang terlanjur melekat pada pemain-pemain Afrika. Mereka memainkan sepakbola dengan indah. Tidak hanya otot yang bekerja, tapi juga otak dan perasaan.

Ini merupakan kampanye Piala Dunia terbaik bagi Nigeria. Di fase kualifikasi zona Afrika (CAF), mereka melakoni 11 pertandingan dan mengemas enam kemenangan, empat imbang, dan hanya satu kali kalah. Di Amerika Serikat, kedigdayaan ini berlanjut. Mereka lolos ke babak 16 besar dengan status sebagai juara grup. Sayang di fase ini, Nigeria harus berhadapan dengan Italia yang sedang menemukan semangat kedua. Satu gol Amunike dibalas dua gol sang maestro berambut kuncir, Roberto Baggio.

Empat tahun kemudian di Perancis, Nigeria kembali terpelanting di fase yang sama. Ini kali digelontor Denmark, 1-4. Setelah itu, Elang Super bagai tenggelam. Sayap-sayap mereka hanya perkasa saat mengepak di langit Afrika. Di Korea-Jepang 2002 dan Afrika Selatan 2010, mereka rontok di babak grup. Sedangkan di Jerman 2006, mereka gagal menjadi kontestan, kalah bersaing dengan Angola.

Kini mereka datang lagi. Namun pascagunjang-ganjing Kamerun di Italia 1990, “semangat” untuk mendapati sentakan dari wakil-wakil Afrika tidak lagi menggebu-gebu. Lima edisi Piala Dunia berlalu dan keajaiban dari Afrika ternyata memang belum “sanggup” untuk memapas dominasi Eropa dan Amerika Selatan. Bahkan tatkala perhelatan digelar di tanah sendiri, Afrika hanya mampu mengirim satu wakil di perempat final. Tapi Ghana gagal melangkah lebih jauh. Mereka dikalahkan Uruguay. Dalam hal ini, Asia masih lebih baik. Saat Piala Dunia digelar di Korea dan Jepang, terlepas dari segala kontroversinya, Korea Selatan mampu melesat hingga fase empat besar.

Mengapa kegagalan demi kegagalan ini terus terjadi, sebabnya bukan sekadar persoalan “pengalaman”. Afrika selalu datang ke Piala Dunia dengan membawa beban masalah dari diri mereka sendiri. Togo menghadirkan fenomena hebat di Jerman 2006. Mereka lolos sebagai juara grup fase kualifikasi, antara lain dengan mengatasi Senegal, Zambia, dan Liberia. Tapi toh di Jerman, mereka rontok, menepi sekadar sebagai juru kunci. Emmanuel Adebayor, superstar Togo, menyebut mereka tidak pernah bisa tampil lepas karena selalu dibayang-bayangi oleh kondisi dalam negeri yang kacau balau. Togo dihantam perang saudara. Kondisi serupa melanda negara- negara lain.

Kelak, pada perhelatan Piala Afrika 2010 di Angola, Togo memutuskan mundur setelah bus yang ditumpangi ditembak kelompok saparatis Front Pembebasan Enklave Cabinda. Kelompok ini, disebut FLEC, dalam pernyataan resminya, menyatakan bahwa sesungguhnya mereka tidak menjadikan pemain Togo sebagai target, melainkan hendak menghabisi tentara Angola yang mengawal bus tersebut.

Selain perang, persoalan lain adalah ekonomi. Kamerun bermain loyo di Brasil 2014. Mereka kalah tiga kali dari tiga pertandingan, kebobolan sembilan gol dan hanya memasukkan satu gol. Performa ini bukan tanpa sebab. Sebelum berangkat ke Brasil, skuat Singa Afrika sudah kupak- kapik. Persiapan tidak berjalan sesuai program. Para pemain bahkan sempat menyatakan mogok dan menolak berangkat ke Piala Dunia. Penyebabnya, bonus yang diberikan oleh pemerintah melalui Federasi Sepak Bola Kamerun (CFF) atas keberhasilan mereka lolos ke putaran final, yakni sebesar 61 ribu poundsterling atau setara Rp 1,2 miliar per pemain, selain dianggap kelewat kecil, juga tak kunjung dicairkan.

Nigeria tak didera persoalan-persoalan seperti ini. Suasana tim relatif adem-ayem. Mereka bahkan datang dengan status sebagai juara Piala Afrika. Setahun lalu, mereka sudah mencoba rumput di Brasil pada perhelatan Piala Konfederasi. Masalahnya adalah, pasukan Stephen Keshi memang “terlalu sederhana”. Kurang “bergejolak”, kurang gemerlap, dibandingkan class of 1994 dan class of 1998. Tidak ada pemain yang benar- benar berkualitas bintang. John Obi Mikel yang bermain untuk Chelsea dan Victor Moses yang merumput untuk Liverpool, di klubnya sendiri, juga bukan pemain-pemain utama. Celakanya di lain sisi, Keshi juga kurang berhasil menjadikan skuatnya kokoh sebagai satu kesatuan yang  utuh. Skuat yang mengandalkan diri sepenuhnya pada kerjasama tim. Nigeria bermain serba tanggung.

Performa pada dua laga awal grup F menunjukkan kecenderungan ini. Mereka bermain buruk melawan Iran dan meski bermain sedikit lebih baik, mereka beruntung dapat mempertahankan keunggulan lewat gol yang dilesakkan Peter Osaze Odemwingie, pemain 32 tahun dari Stoke City, di pertengahan babak pertama pada laga kontra Bosnia Herzegovina.

Maka dengan kekuatan seperti ini, dari sudut pandang manapun, Nigeria terposisikan medioker di hadapan Argentina. Tango sudah memastikan lolos. Namun laga ini tetaplah bernilai penting bagi pasukan Alejandro Sabella, sebab jika kalah, di fase 16 besar sudah menunggu Perancis yang menjadi kampiun grup E. Menilik pada performa Perancis yang -sejauh ini- mengerikan, tentu saja Argentina merasa lebih baik menghindarinya.

“Kami masih ingin terbang tinggi, mengepakkan sayap mengarungi langit di Brasil. Saya bukan peramal, bukan orang spesial yang bisa melihat masa depan. Tapi saya merasa memiliki firasat, kami tidak akan pulang terlalu cepat,” ucap Keshi pada harian Inggris, Daily Mail.

Apakah ia ingin mengatakan bahwa pasukannya akan menekuk Argentina? Barangkali bukan menang. Sekadar imbang lebih logis, sembari berharap di laga lain, Bosnia dapat menahan Iran. Toh, Argentina pun sesungguhnya masih belum on track. Laju mereka masih tersendat. Jika bukan lantaran tuah dan keistimewaan seorang Lionel Messi, niscaya mereka akan berbagi poin dengan Iran.

Kiper Nigeria, Vincent Enyeama, dalam wawancara dengan AFP News, mengatakan dirinya tak takut pada Messi. “Semua tahu dia. Messi pemain jenius yang sudah melakukan segala hal yang kadang tak masuk di akal dalam sepakbola. Kami akan berhadap-hadapan, dan saya, sama sekali tidak takut. Ini bukan antara saya dan dia. Ini antara Nigeria dan Argentina. Saya akan berjuang untuk negara saya,” katanya.

 

Dimuat Harian Tribun Medan
Rabu, 25 Juni 2014
Halaman 1

Menanti Messi Menarikan Tango

  • Argentina vs Bosnia Herzegovina

 

Di Mexico City, 28 tahun lalu, Tango dimainkan. Gerak-gerak yang menghentak, cenderung patah-patah, sahut-menyahut dengan irama khas latin yang riang. Diego Maradona menerjemahkan gerak tari ke gerak bola dan dunia menyaksikannya dengan penuh kagum. Puncaknya adalah umpan terobosan di menit 83. Bola sodoran jitu Maradona dicecar Jorge Burruchaga ke gawang Jerman (Barat) yang dikawal Harald ‘Tony’ Schumaccer. Argentina unggul 3-2 dan meraih tropi Piala Dunia untuk kali kedua.

AFP PHOTO/ Dibyangshu Sarkar

AFP PHOTO | Dibyangshu Sarkar

TANGO 1986 dianggap lebih menakjubkan dibandingkan Tango 1978. Ketika itu, pada laga final  di Estadio Monumental, Buenos Aires, Argentina menekuk Belanda, 3-1. Pencapaian ini sesungguhnya tak kalah fenomenal. Meski tanpa Johan Cruyff, Der Oranje datang dengan status menggetarkan, “juara tanpa mahkota”. Totaal Voetbal yang demikian menyentak di Jerman 1974, masih sangat menakutkan.

Pertanyaannya, kenapa pesta 1986 digelar lebih meriah? Kenapa kata “Pardon“, terhadap Carlos Bilardo, disuarakan lebih kencang dibanding untuk Cesar Luis Menotti. Pardon, yang berarti “maaf”, memang menjadi sikap resmi rakyat Argentina setelah mereka meragukan, bahkan mencaci-maki, Menotti dan Bilardo. Racikan kedua pelatih dianggap menjerumuskan filosofi sepakbola Argentina ke arah permainan kesebelasan polisi: kaku, tegang, bergantung penuh pada kontrol dan strategi di atas kertas. Padahal sebagaimana Samba, gerak Tango datang dari intuisi. Sepakbola Argentina adalah sepakbola yang dimainkan dengan kegembiraan hati.

Menotti mempersembahkan tropi namun tidak melahirkan bintang. Mario Kempes bukan bintang. Ia pemain bagus, berteknik tinggi, dan piawai melesakkan gol, tapi bukan sosok yang mampu membuat sorotan media berpusat kepadanya.

Bilardo mendapatkan tropi sekaligus mempersembahkan Maradona, “manusia setengah dewa di lapangan bola”. Ernst Happel mengaku kalah dari Menotti di tahun 1978, namun tidak memuji. Ia bahkan menyebut kesebelasannya kurang beruntung saja -seraya menyesalkan ketidakikutsertaan Cruyff yang berselisih paham dengannya. Tapi Franz Beckenbeauer mengaku kalah sekaligus memuji. Hal yang langka ditemui pada Sang Kaisar. Jika tidak ada Maradona, kata Beckenbeauer, kami yang akan pulang membawa tropi itu dengan mudah.

Diego Armando Maradona adalah Argentinean Sweetheart. Kesayangan publik. Penggila sepakbola negeri itu telah mengamati dan terus mengikuti perkembangannya sejak Maradona masih anak-anak. Ia yang diberi julukan bocah ajaib, seniman bola dengan sentuhan Midas pada kaki kirinya. Mereka marah tatkala Maradona, yang ketika itu belum genap berusia 17, diketepikan oleh Menotti di Piala Dunia 1986. Ini pulalah alasan lain yang memicu kata maaf tadi.

Empat tahun berselang di Spanyol, ia masuk skuat. Namun beban terlalu berat yang ditimpakan ke pundaknya, merusak Maradona. Tak tahan terus menerus dikasari, ia membalas dengan sangat reaktif. Pada laga kontra Brasil, ia mendapat kartu merah setelah menerjang Joao Batista da Silva, dan Argentina kalah, tersingkir dari turnamen setelah pada laga pertama putaran kedua juga ditekuk Italia 1-2. Tapi kebintangannya tak lantas redup. Dan di Meksiko ia kembali dengan mental yang jauh lebih matang.

Rekam jejak Maradona, dari banyak sisi, dinilai memiliki kesamaan dengan Lionel Messi. Dari sekian banyak pemain yang selalu didengung-dengungkan sebagai “titisan” Maradona, pemain berjuluk La Pulga (Si Kutu) inilah yang dianggap paling mendekati. Terutama tentu saja dari sisi gaya bermain. Setelah Maradona, karakter “suka menggiring bola” juga dimiliki Ariel Ortega dan Pablo Aimar. Tapi memang dribble Messi yang paling sempurna.

Messi juga memulai petualangan di tim nasional dari jenjang usia muda. Maradona membawa Argentina memenangi Piala Dunia Junior di tahun 1979, sedangkan Messi di tahun 2005. Setelah itu, pintu tim nasional senior terbuka. Jose Pakerman memilihnya untuk Piala Dunia 2006 di mana Messi mencetak tiga gol di sana. Ia bukan bintang utama ketika itu dan Argentina gagal, persis Maradona di tahun 1982. Publik Argentina berharap Afrika Selatan 2010 menjadi panggung bagi kebintangan Messi. Namun ia kembali gagal. Tango yang dibesut Maradona dihentikan Jerman di perempat final dengan skor sungguh telak, 0-4. Tapi harapan tak lantas pupus. Publik negeri Tango mendadak teringat, Messi baru 22 tahun. Hanya lebih tua setahun dari usia Maradona di Spanyol. Usia yang labil. Terlalu hijau untuk menanggung beban asa sepenjuru negara.

Kini, untuk kali ketiga Messi menjadi bagian dari skuat Argentina di Piala Dunia. Usianya 26, usia matang, dan Alejandro Sabella, memilihnya sebagai kapten. Messi kembali menjadi pemimpin bagi barisan pemain penuh bakat. Jabatan yang sebenarnya sudah ia sandang (tepatnya sebagai vice captain) sejak Copa America 2011.

Apakah kali ini Messi akan memenuhi ekspektasi? Sebenarnya, pascakegagalan di Copa America, keragu-raguan terhadap Messi mulai muncul. Ia dianggap tidak memiliki mental sebagai pemimpin. Messi lebih kepada seorang eksekutor. Pemimpin di Barcelona adalah Xavi Hernandez dan Andreas Iniesta.

Nasionalismenya, kemudian juga ikut dipertanyakan. Ia mulai dibanding-bandingkan dengan Maradona. Kali ini dari sisi berbeda. Messi, semenjak remaja telah hidup dalam sistem Eropa di La Masia yang serba sistematis -ada jajaran pelatih, sports scientis, dan peralatan olahraga serba modern dan canggih. Maradona tumbuh di jalanan kota Buenos Aires yang dipenuhi pelaku kekerasan dan persaingan geng obat bius. Ia bermain di sana, dengan sepatu sport sobek dan bola yang tak lagi bulat utuh.

Penulis Argentina, Martin Caparros, pada wawancara dengan New York Times Magazine, bahkan melontarkan kalimat-kalimat bernada kejam. Kesimpulan Caparros, “He (Messi) isn’t Argentine enough.”

Suara-suara sumbang ini pada akhirnya membuat Maradona merasa harus angkat bicara. “Menggelikan jika Anda meragukan Messi. Dia seorang bintang. Tak perlu ada keraguan. Dia hanya butuh kepercayaan dan ketenangan, dan saya percaya dia dapat melakukannya. Berhentilah melakukan perbandingan-perbandingan sebab itu sungguh tak berguna. Dia lebih kuat dari saya,” kata Maradona pada harian Inggris, The Guardian.

Maradona mengisahkan, pascakejayaan di Meksiko, pendewaan terhadap dirinya makin menjadi- jadi. Harapan yang ia rasa makin berlebihan dan tak masuk akal. “Akhirnya saya muak dengan semua itu. Tahun 1990 saya masih bisa bertahan, tapi empat tahun kemudian saya hancur. Sepenuhnya hancur. Setelah itu, semua meninggalkan saya. Messi, saya harap, terhindar dari nasib ini. Jadi biarkan dia menari,” ujarnya.

Dinihari nanti di Maracana, stadion raksasa yang pernah mencatat banyak peristiwa penting di jagat sepakbola, Lionel Messi akan memulai pertarungannya. Satu pertarungan yang bersejarah pula. Argentina dijajal Bosnia Herzegovina, negara pendatang baru di Piala Dunia.

Namun keliru jika Argentina meremehkan Bosnia. Negeri ini memang mini. Jumlah penduduknya tak sampai 5 juta jiwa. Tahun 1992 mereka menjadi negara yang berdiri sendiri, lepas dari Yugoslavia. FIFA baru menerima Bosnia sebagai anggota pada tahun 1996. Maka tergambarlah betapa hebat Bosnia. Hanya dalam 18 tahun mereka berhasil lolos ke putaran final Piala Dunia, menyisihkan negara-negara yang jauh lebih mapan.

 

Dimuat Harian Tribun Medan
Minggu, 15 Juni 2014
Halaman 1