Ke Maracana untuk Balas Dendam

  • Review Belanda vs Argentina

Selain Uruguay, musuh terbesar bagi Brasil di Amerika Selatan, adalah Argentina. Kedua negara telah bentrok 95 kali di lapangan hijau. Argentina menang 36 kali, Brasil 35 kali, sedangkan 24 laga lain berkesudahan imbang. Di Brasil ada satu ungkapan: “boleh kalah dari siapa saja, asal tidak dari Argentina.”

 

AFP PHOTO | ODD ANDERSEN

AFP PHOTO | ODD ANDERSEN

PADA Piala Dunia 2014, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah penyenggaraan, Argentina dan Brasil sama-sama melaju ke fase empat besar. Mereka tidak saling bertemu. Brasil bertanding lebih dahulu di Belo Horizonte dan di luar akal yang paling gila sekali pun, mereka ditekuk Jerman 1-7. Bencana nasional untuk Brasil!

Di tengah duka, sebagian suporter Selecao, menatap ke Sao Paolo. Argentina bentrok dengan Belanda. Meski berarti akan memecahkan rekor sebagai Piala Dunia di benua Latin pertama yang memanggungkan Eropa versus Eropa, para suporter yang sudah putus harapan ini sepenuhnya rela. Tak apa, bagi mereka ini memang sama sekali bukan soal Belanda. Tapi Argentina jangan sampai menang dan menginjakkan kaki di Maracana.

Harapan ini pupus. Menit demi menit di masa normal tidak melahirkan gol. Pun begitu di babak tambahan. Louis van Gaal kali ini tidak menerapkan strategi “Ali Baba”. Tak ada langkah ajaib. Menakar potensi besar dapat melesakkan gol pada babak perpanjangan waktu, Van Gaal melakukan pergantian terakhir yang riskan. Robin van Persie masuk, Klass Jan Huntelaar masuk. Tim Krul, pahlawan kemenangan Belanda atas Kosta Rika, tetap duduk di bangku cadangan.

Begitulah, De Oranje gagal membobol gawang Tango. Ada penalti pun dilakukan dan teranglah sudah betapa strategi “Ali Baba”, strategi ajaib, Van Gaal di laga perempatfinal sesungguhnya memang jenius. Jasper Cillessen memang sekadar medioker untuk urusan menghempang tendangan 12 pas. Empat eksekutor Argentina mulus menerabasnya. Sementara Ron Vlaar dan Wesley Sneijder, gagal menaklukkan Sergio Romero.

Maka di lini masa Twitter, juga di Facebook, bertebaran buncahan histeria kegembiraaan rakyat Argentina, yang celakanya dikemas dalam bentuk sindiran terhadap Selecao. “Tell me how it feels“; “Brazil found a spectacular way to erase the memories of 1950“; “Argentina fans still in Arena forum, loudly counting to seven, singing Brasil decime que se siente/siete“; dan lain sebagainya.

Lewat cara yang lebih santun, Buenos Aires Herald menuliskan dalam headline mereka, “Maaf, Brasil, kami ke Final. Albiceleste akan pergi ke Maracana untuk satu misi balas dendam.”

Clarin, media bertiras besar lain, memaparkan perayaan pesta kemenangan yang meriah di jantung Buenos Aires, dan memperbandingkannya dengan karnaval kesedihan di Rio de Jeneiro. Di akhir laporan utama tersebut, mereka menulis: “Jerman, kami tak takut kepadamu. Empat tahun terlalu lama untuk menuntaskan sakit hati.”

Argentina bertemu Jerman 20 kali, enam di antaranya di perhelatan Piala Dunia. Pertemuan pertama digelar di Malmo, Swedia, 8 Juni 1958. Jerman menang 3-1. Sedangkan laga terakhir berlangsung di Cape Town, Afrika Selatan, 3 Juli 2010. Kali ini, Argentina dipermak empat gol tanpa balas. Dua laga lain, masing-masing di edisi 1986 dan 1990, kedua kesebelasan bersua di laga pamungkas. Edisi 1986 menjadi milik Argentina 3-2, sedangkan empat tahun berselang, giliran Jerman yang unggul 1-0. Total, termasuk laga-laga ujicoba, Argentina berhasil tujuh kali menaklukkan Jerman. Sebaliknya, sembilan kali mereka kalah dan empat laga lain berakhir seri.

Namun di antara seluruh kekalahan yang pernah diderita, kekalahan di Afrika Selatan yang membuat Argentina merasa paling tersakiti. Bukan semata perkara jumlah lesakan golnya. Namun di laga tersebut, Jerman “bersikap” seolah-olah mereka guru dan Tango hanya murid yang dungu. Nyaris persis seperti kejadian seperti cara Brasil dibungkam di Belo Horizonte kemarin. Messi yang begitu digadang dapat mengejar kecemerlangan Diego Maradona, malah dihancurkan oleh soliditas Der Panzer.

“Kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama,” kata Pelatih Argentina, Alejandro Sabella. “Jerman adalah tim yang sangat brilian. Mereka bermain dengan taktik dan teknik sempurna, serta pemain yang memiliki fisik prima serta beberapa di antaranya memiliki sentuhan latin. Menghadapi tim yang dibentuk dengan rencana jangka panjang, kami juga harus bermain dengan cara serupa. Kami akan bermain bersama, sebagai tim. Dan Messi akan menjadi penghancurnya.”

Suporter Jerman, membalas keoptimisan kubu Argentina dengan sentilan yang tajam. Di laman sosial, mereka menyerang suporter Argentina dengan mengutip analisis kolumnis Brendan Greeley di Bloomberg BusinessWeek. Menurut Greeley, kemenangan Jerman, terlepas dari kerapuhan internal skuat Selecao, juga disebabkan oleh satu grand design apik yang telah dirancang secara cermat dan dijalankan secara setia selama 14 tahun. Jerman, kata Greeley, memupuk pemain-pemain muda dengan sangat sabar, dan mereka memetik hasilnya yang manis. Oleh para suporter Jerman, kalimat ini ditambah. “Kami sudah melakukannya untuk kalian empat tahun lalu. Dan kami akan melakukannya lagi di Maracana.”

 

Dimuat Harian Tribun Medan
Jumat, 11 Juli 2014
Halaman 1

Tinggalkan komentar