Mawar Hitam dan Pedendang Buta

Kedatangannya terjadwal ketat. Satu dua menit sebelum pluit pertanda keberangkatan kereta api sore nyaring melengking, langkah tergesanya akan menghentak lantai toko bunga itu. Ia selalu meminta bunga yang sama. Kemudian, setelah membayar tanpa pernah menunggu uang kembalian, dia akan berlari sepanjang peron, mengejar kereta yang sudah mulai bergerak.

MAWAR Hitan dan Pedendang Buta | T Agus Khaidir

MAWAR Hitam dan Pedendang Buta | T Agus Khaidir

BENTUK ketaatan yang sebenarnya agak mengherankan. Apakah dia memburu sesuatu? Waktu? Ataukah kereta itukah? Barangkali dia semacam penggila kereta api, orang yang merasa bahagia tiap kali duduk berhimpitan atau berdiri berdesakan dalam gerbong. Atau jangan-jangan dia sebangsa penulis syair yang membutuhkan senja berbingkai jendela kereta untuk merangkai kata. Adakah hal lain yang diperlakukannya sebagai rahasia? Aku tak tahu. Aku hanya mengenalnya sebagai pengamen yang biasa beredar di rumah-rumah makan di sekitar stasiun.
Rasa penasaran ini melahirkan banyak versi cerita. Versi-versi yang tiap pendengarnya merasa punya hak mempercayai versi mana pun yang mereka suka, tanpa harus curiga dan peduli pada kebenaran atau kengibulannya.

Favoritku adalah versi Penjaga Toko Bunga. Runutan lebih lanjut versi ini sebagai berikut.

Lelaki Pengamen turun pada pemberhentian ketiga, stasiun kecil yang kumuh di pinggiran kota. Dari sini ia berlari ke arah utara, menuju toko obat herbal milik seorang Tionghoa tua. Dia memilih berlari karena dengan begitu tak perlu bersopan-sopan pada aturan lalu lintas. Dia harus tiba di toko obat herbal sebelum pukul 19.00. Jika tidak, ia akan kehilangan kesempatan mengantar keponakan Tionghoa tua itu ke tempatnya bekerja di sebuah nite club. Perempuan ini amat ketat menaati waktu. Ia selalu tiba 10 menit sebelum show pertamanya dimulai pukul 19.30.

Lelaki Pengamen bekerja di nite club lain di kawasan ini. Kawasan remang-remang yang sesungguhnya lebih sohor sebagai tempat orang-orang iseng leluasa mencari teman tidur beberapa jam. Penyanyi dan musisi, seberapa pun bagusnya, tiada lebih dari sekadar pelengkap.

Jadwal panggung Lelaki Pengamen pukul 21.00. Dari stasiun ke nite club tak sampai 15 menit berjalan kaki. Ada luang waktu yang panjang. Tapi dia memang sungguh tak tega membiarkan perempuan itu berjalan sendirian di trotoar yang kian runyam oleh pot bunga dan tiang-tiang reklame berukuran raksasa. Dia selalu cemas membayangkan perempuan itu terpaksa turun ke badan jalan dan tiap saat bisa celaka.

Perempuan pedendang itu buta.

Sampai di sini versi cerita penjaga toko bunga berjalan lamban. Riuh oleh silang-sengkarut kehidupan malam yang serba panas dan seringkali ganjil. Belakangan, untuk menyingkat, kepada para pendengarnya penjaga toko bunga hanya mengemukakan bagian-bagian yang menurut dia  penting. Itupun tak terperinci benar. Tentang kecemerlangan suara Pedendang Buta, misalnya, cuma diketengahkannya lewat deskripsi sederhana: agak serak, tak terlalu berat, tapi  mampu mencapai nada tinggi -perpaduan Sarah Voughan dan Julie London.

Penjaga Toko Bunga cenderung lebih tertarik pada melodrama. Terutama momentum perpisahan di depan pintu toko, saat Lelaki Pengamen mengantarkan Pedendang Buta pulang selepas tengah malam. Mata Lelaki Pengamen memejam ketika perempuan itu mengusap pipinya dengan ujung-ujung jari. Lembut. Dari pipi, jemari pedendang buta naik perlahan ke pelipis, ke alis, ke kening, lalu merayap meniti rahang, naik lagi ke hidung, tulang pipi, dagu, dan berakhir di bibir.

“Kau tidak terlalu tampan. Tapi aku yakin, kau pasti lelaki baik.”

Menurut cerita itu, pada saat-saat seperti inilah Lelaki Pengamen ingin menyatakan cintanya pada Pedendang Buta. Namun entah mengapa tak pernah bisa. Di hadapan Pedendang Buta dia mendadak gagu dan reaksi terbaiknya adalah menyodorkan bunga dari toko dekat stasiun.

Runutan lebih lanjut juga melodrama. Pedendang Buta menyentuhkan kelopak bunga ke ujung hidungnya. Lalu tersenyum dan bertanya. Selalu pertanyaan yang sama.

“Bunga lagi?”

“Siapa tahu yang kemarin sudah layu.”

“Aku buta. Aku tahu mana yang mekar mana yang layu.”

“Wanginya hilang ketika layu.”

“Begitu? Hmm, kupikir petang tadi masih bisa kurasakan wangi itu.”

“Jika demikian biarlah bunga ini menambah semerbak kamar tidurmu.”

“Andai bukan cuma wangi. Andai aku bisa melihat bunga-bunga mekar ini.”

Ini masalah yang lain lagi. Pengamen kita memang tak akan pernah bisa memberikan gambaran apapun pada Pedendang Buta . Dia hanya tahu dari percakapan-percakapan, dari lagu-lagu, dari lembaran buku-buku puisi, bahwa mawar itu merah melati itu putih anggrek itu ungu. Hanya pernah didengarnya dedaunan hijau, senja kuning keemasan, dan gunung kebiruan jika dipandang dari kejauhan. Sejak kecil dunianya hanya hitam dan putih.

Alkisah, di penghujung pertemuan entah keberapa, Lelaki Pengamen bertanya pada Pedendang Buta. “Apakah kau masih mungkin melihat?”

Atas pertanyaan ini, Pedendang Buta akan panjang lebar bicara perihal teori medis yang di telinganya kedengaran rumit dan membikin kepalanya pusing. Namun intinya, Pedendang Buta ingin bilang harapan masih ada.

“Keluarga paman sudah bersumpah pada mendiang ayah untuk menjagaku. Tapi aku menolak jadi seonggok daging yang dipandang dengan rasa iba. Aku berusaha dapat melihat kembali. Peluangku kecil, tapi bukankah lebih konyol jika aku tak berusaha mengambilnya?”

****

Hei, tunggu dulu, Nona!” kataku memotong Penjaga Toko Bunga ketika pertama kali mendengar versi ini darinya. “Ceritamu pasti berakhir sedih. Tapi kau tak bermaksud menggiringnya untuk  mengambil jalan seperti ditempuh Kassim Selamat, bukan?”

Penjaga Toko Bunga menyengitkan kening. “Siapa itu Kassim Selamat?”

Kuceritakan padanya sedikit tentang Kassim Selamat, peniup tenor saksopon bersuara aduhai yang teraniaya cinta dalam film Malaysia klasik, Ibu Mertuaku. Kutaksir usia Penjaga Toko Bunga tak lebih dari 25. Tentu ia belum lahir saat P Ramlee berjaya.

“Ini kisah cinta yang terhalang restu orang tua. Kassim Selamat dan Sabariah dipisahkan secara culas. Saat Kassim Selamat naik panggung di Singapura, ibu mertua merancang cerita Sabariah meninggal dunia. Terlalu sering memeras air mata, Kassim Selamat buta. Belakangan ia tahu cerita itu bohong belaka. Tapi terlambat, Sabariah telah diperistri dokter yang mengoperasi matanya. Kassim Selamat yang kecewa memilih kembali buta. Ia menusukkan garpu selada ke matanya,” kataku.

Penjaga Toko Bunga menggeleng-gelengkan kepala. “Tragis, ya, tapi stupid. Dan kujamin, Anda tak akan menemukan kebodohan seperti itu di sini. Konteksnya saja sudah jelas berbeda, Bung. Dalam bayanganku, dia lebih mirip karakter utama di satu film Hong Kong produksi awal 1990an. Seorang tuna wisma buruk rupa. Aku lupa judulnya. Tapi yang jelas, itulah satu-satunya film Ng Man Tat dan Bo Bo Ho yang membuatku menitikkan air mata.”

Versi cerita Penjaga Toko Bunga kemudian bergerak ke arah serba klise. Lelaki Pengamen menguras tabungan dan meminjam uang dari pemilik nite club (membayar tiap bulan dengan gajinya) untuk membayar operasi pedendang buta. Syahdan, operasi berhasil, dan sampai di sini muncul pertanyaan lain. Bagaimana mungkin perempuan itu tega menerima bantuan lelaki pengamen? Tidakkah ia punya perasaan, atau setidak-tidaknya semacam kesadaran, betapa penolongnya -secara ekonomi- tak lebih baik dari dirinya?

Tentang ini penjaga toko bunga punya alasan yang menurutku logis.

“Dia begitu pengecut hingga bahkan tak berani jujur perihal dirinya sendiri. Pedendang buta tidak pernah tahu penolongnya cuma pemain band di nite club tetangga. Ia menyangka penolongnya eksekutif muda yang saban malam datang ke nite club untuk menikmati jazz.”

****

Beberapa menit lalu, saat melintas di depan toko bunga dalam perjalanan kembali ke rumah selepas jam kantor, Penjaga Toko Bunga itu memanggilku.

“Bung, aku makin yakin, di antara semua versi cerita, versiku yang paling benar. Tadi dia datang. Anda tahu apa yang terjadi? Dia bertanya apakah toko kami menjual mawar hitam.”

“Apa hubungannya dengan kebenaran versimu? Lagipula mawar hitam tak pernah benar-benar ada. Itu cuma bikin-bikinan para tukang cerita.”

Penjaga Toko Bunga tertawa, lalu berceloteh perihal berbagai kemungkinan yang jadi penyulut kekecewaan Lelaki Pengamen. Menurut dia, kemungkinan paling masuk akal adalah keputusan perempuan pedendang yang sebelumnya buta menerima cinta salah seorang penggemarnya. Seorang pemuda tampan dan kaya raya.

Lagi-lagi sangat klise. Sangat sinetron. Bukankah lebih logis jika ada sedikit paparan tentang upaya perempuan itu mencari tahu siapa penolongnya? Puluhan kali ia rekam jejak wajah Lelaki Pengamen dalam rasa, tidak pernahkah sekali saja dilakukannya hal serupa pada tiap lelaki yang datang mendekatinya dengan lagak pahlawan?

Kupikir memang ada yang tak beres pada versi cerita Penjaga Toko Bunga ini. Tapi, ada hal lain yang membuatku lebih penasaran.

“Mawar apa yang sebenarnya kau berikan padanya?”

Penjaga Toko Bunga kembali tertawa. Kali ini lebih panjang.

Pascareda, ia berbisik di telingaku. “Tentu saja tetap mawar merah. Itulah! Sekali lagi aku benar, Bung. Ternyata dia memang benar-benar buta warna. Hahaha…”

Kuala Lumpur, Maret 2013 – Medan, Awal Juni 2014

Dimuat Harian Waspada
Minggu, 21 September 2014
Halaman B3

Tinggalkan komentar